Cerita di Balik Syuting Program Inspirasi Indonesia TVRI Pusat di Desa Paddinging, Kabupaten Takalar
Oleh: Rusdin Tompo (Pegiat Literasi, dan Koordinator Perkumpulan Penulis Indinesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Begitu saya tiba dari Takalar Lama, mobil dengan tulisan TVRI sudah ada di depan Masjid Muhammad Ali Yasin, Dusun Bonto Panno, Desa Paddibging. Sisi utara dari dinding masjid ini tepat bersebelahan dengan rumah Irmawati Daeng So’na. Mobil diparkir di situ selain halamannya cukup luas juga karena diteduhi rimbun pohon mangga yang tumbuh di pekarangan rumah Daeng So’na.
Saya parkir sepeda motor di siring (bawah) rumah Daeng So’na. Dari atas terdengar suara Mudding Daeng Liwang, ayah Daeng So’na yang menyampaikan bahwa orang-orang TVRI sudah berada di belakang.
“Sibuntuluki ri agang,” kata pria berusia 73 tahun yang sehari-hari mengenakan songkok dan sarung itu dalam bahasa Makassar.
Maksudnya, Daeng So’na berpapasan dengan tamunya di jalan. Dia rencananya mau ke Desa Pabbatangang untuk mencari tungku dari gerabah. Ada pula keperluan lain yang masih terkait dengan persiapan menyambut dan menjamu tamunya dari Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tersebut. Namun, baru beberapa meter dia mengendarai sepeda motornya, tamunya sudah tiba.
Saya langsung menuju tempat yang dimaksud, The Hidden Garden Sofres’na Indonesia, lokasi kebun pertanian alami yang dikembangkan Daeng So’na. Saya sudah beberapa hari datang ke sini untuk kegiatan Kelas Menulis Kreatif. Semalam bahkan saya nginap di Rumah Daulat Pangan, yang berbentuk rumah panggung tradisional Makassar, untuk membantu Daeng So’na mempersiapkan tempatnya.
Pendiri SePAKaT (Serikat Perempuan Pertanian Alami Kabupaten Takalar), selama dua-tiga hari akan diwawancarai oleh kru TVRI. Daeng So’na, penerima beasiswa Bekal Pemimpin dari United In Diversity (UID), tahun 2018, atas konsistensinya membangun kesadaran kritis perempuan dan anak di desanya, akan diprofilkan oleh TVRI dalam program INSPIRASI INDONESIA. Program ini ditayangkan secara nasional oleh TVRI Pusat. Mulai Senin, 8 Juli 2024, proses syuting dilakukan di desa yang berada di Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan ini.
Saya masuk ke area The Hidden Garden Sofresh’na Indonesia dari depan, melewati tulisan Salamakki ri Kabattuanta. Ini ucapan selamat datang dalam bahasa Makassar. Saya bertemu Daeng Lawa, orang yang selama ini membersamai Daeng So’na mengelola kebun pertanian alami dan gerakan pemberdayaan perempuan dan anak.
“Dari mana ki Daeng Lawa? Tanya saya ketika kami melewati jalur jalan yang ditumbuhi pohon sirsak dan jambu kristal.
“Dari situ ja. Pigi ka sampaikan ke orang yang garap lahan supaya matikan dulu traktornya,” jelas Daeng Lawa.
Rupanya ada petani yang tengah mengolah lahan dengan menggunakan traktor tangan. Suara mesinnya mengganggu proses rekaman wawancara. Saya, karena tahu ada syuting, memilih jalan menyamping dekat bunga-bunga matahari kecil tumbuh.
Daeng So’na terlihat sedang menjelaskan. Ia duduk di bangku kayu panjang. Ada tiga kamera dalam posisi berbeda menyorotnya. Sesekali wawancara dihentikan kalau Daeng So’na terlihat kurang rileks. Wawancara dilanjutkan lagi. Kalau penjelasan Daeng So’na dirasa kurang pas, diminta untuk lebih menggambarkan strategi gerakan yang dilakukan.
“Mungkin capek ki, kurang tidur,” kata salah satu kru dengan nada bercanda.
“Iye, saya memang kurang fokus,” ungkap Daeng So’na polos.
Saya ikut nimbrung, mengingatkan Daeng So’na agar lebih santai. Tidak perlu tegang.
Kamerawan kembali bersiap. Syuting mau dilanjutkan. Lamat-lamat terdengar suara mengaji dari arah masjid. Beberapa saat lagi akan masuk waktu dhuhur. Wawancara dihentikan lagi.
Saya mendekati Daeng So’na. Perempuan 39 tahun itu mengaku kurang fokus dan agak terkejut. Pasalnya, dia baru akan mempersiapkan segala sesuatunya, tamunya sudah ada, dan begitu tiba di lokasi, langsung pasang alat untuk syuting. Sebelumnya, kata Daeng So’na, dia ditanya, pukul berapa biasanya ibu-ibu SePAKaT mengadakan pertemuan. Disampaikan, ibu-ibu ikut pertemuan lazimnya pukul 2 siang, setelah urusan rumah rampung dan mereka selesai salat dhuhur. Jadi, perkiraannya pukul 2 siang baru syuting dilakukan hehehe.
Saya lalu diajak ngobrol oleh Ridha Yenita, produser acara. Ita, begitu ia sehari-hari disapa, kepada teman-temannya menyampaikan kalau dia kenal saya sejak masih di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan. Karena saya kerap diundang ke studio TVRI di Jalan Pajonga Daeng Ngalle sebagai narasumber.
“Saya kenal Pak Rusdin, tapi mungkin Pak Rusdin tidak kenal saya,” selorohnya yang membuat kami sama-sama tertawa.
Ita menyampaikan bahwa mereka datang full team. Selain dirinya sebagai produser, juga ada pengarah teknik, kamerawan, editor, penata cahaya, penulis naskah, reporter, penata suara, unit manajer, dan driver. Dikemukakan bahwa INSPIRASI INDONESIA punya tema berbeda setiap bulan. Pada bulan Juli nanti, temanya terkait pemberdayaan perempuan dan anak. Sosok Daeng So’na dinilai tepat sebagai inspirasi bagi Indonesia.
Saya ditanya, kenapa bisa sampai ke Desa Paddinging dan berinteraksi dengan Daeng So’na. Saya ceritakan, sejak 1999 mengenak Daeng So’na, ketika Plan Indonesia Program Unit Takalar mengembangkan program Dewan Anak.
Di tahun itu, saya masih di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Plan dan LPA bekerja sama mengadakan Pelatihan Hak-Hak Anak, yang ditindaklanjuti dengan pendampingan kelompok anak, yang disebut Dewan Anak. Pendamping ini merupakan fasilitator saat pelatihan, terdiri dari Mulyadi Prayitno, Selle KS Dalle, Fadiah Machmud, dan saya. Kami pengurus LPA Sulawesi Selatan, yang saat itu diketuai oleh Prof Mansyur Ramly.
Saya ceritakan, kalau baru pulang dari Takalar Lama untuk bernostalgia melihat lokasi tempat kami mengadakan pertemuan Dewan Anak, di mana Daeng So’na merupakan salah satu pengurusnya. Daeng So’na, kala masih kanak-kanak merupakan Ketua Dewan Anak Desa Paddinging.
Rupanya, cerita saya yang mengungkap pengalaman mengadvokasi hak-hak anak ini menarik. Saya lalu didaulat untuk memberikan testimoni terkait kiprah yang dilakukan Daeng So’na. Begitu kamera kembali on, saya diwawancarai.
Saya paparkan bahwa apa yang kita lihat pada diri Daeng So’na merupakan buah dari kesadaran kritis yang terbentuk sejak Dewan Anak. Di Dewan Anak, Daeng So’na dkk diberi pemahaman bahwa partisipasi itu hak mereka. Sejatinya, pandangan dan pendapat mereka perlu didengar. Anak-anak harus diberi ruang, akses dan kesempatan untuk berperan serta, termasuk dalam tahapan dan perencanaan pembangunan. Tentu sesuai usia dan kematangan. Hak partisipasi ini dalam konteks HAM merupakan hak sipil dan politik.
Untuk keperluan proses produksi bukan hanya dilakukan wawancara tapi juga melihat langsung aktivitas Daeng So’na yang membuka Sekolah Puan Tani. Ini gerakan literasi bagi anak-anak petani yang dibekali keterampilan menulis agar mereka bisa menyuarakan dan mempromosikan desanya melalui berbagai platform digital.
Syuting yang memperlihatkan Daeng So’na menanam bibit tanaman juga dilakukan. Bagian ini butuh take berulang-ulang. Beberapa kali kami yang menonton proses syuting mesti bergeser, mencari tempat aman agar tidak “tertangkap kamera”. Akhirnya, dari arah balai-balai yang berada di belakang, dekat rumpun bambu, kami menyaksikan semua keseruan proses syuting.
“Bisa dibayangkan bagaimana repotnya orang bikin sinetron,” kata saya kepada anak-anak yang tadi ikut pengambilan gambar Kelas Menulis Kreatif.
Areal bekas galian tambang pasir yang merusak kawasan persawahan juga disyuting. Selain itu, kru TVRI juga sudah mengagendakan untuk syuting pembuatan pupuk alami, pertemuan ibu-ibu SePAKaT dan aktivitas Daeng So’na yang lain.
Ikbal Dg Situru, Sekretaris Dinas (Sekdis) Pertanian Kabupaten Takalar, juga diwawancarai oleh kru TVRI. Sekdis yang seorang insinyur ini memaparkan peran Takalar sebagai salah satu kabupaten penyangga pangan bagi Kota Makassar, dan Sulawesi Selatan. Ikbal berkisah, dia tidak asing dengan konsep pertanian alami karena ibunya pada era 70-an, memimpin organisasi wanita tani skala nasional.
Semula, dia mengira apa yang dilakukan Daeng So’na merupakan Kelompok Usaha Tani (KUT). Namun dia kemudian mendapat penjelasan bahwa SePAKaT maupun Sofresh’na bukan KUT tapi sebuah gerakan yang melibatkan perempuan tani agar lebih berdaya dan berdaulat atas pangan. Bukan saja sebuah konsep pertanian alami yang berkelanjutan tapi juga berkeadilan.
Tinggalkan Balasan