Sumpah Pemuda dan Martabat Demokrasi pada Pilkada 2024
Rahmat Abd Fatah (Pegiat Sosiologi Politik dan Sosiologi Sastra di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara & Wakil Ketua PWPM Malut)
Ketika deru Sumpah Pemuda kembali menggema di setiap pojok negeri, angin politik terasa begitu kuat oleh teriakan para juru kampanye di Oktober yang gerimis. Sumpah Pemuda kembali dikenang sebagai “tonggak persatuan,” namun sayangnya, seringkali hanya sebagai upacara simbolis yang hampa makna. Ia tak lebih dari panggung teatrikal dimana terdapat aktor-aktor politik berpakaian nasionalis, tetapi berjiwa oportunis.
Di tengah proses pilkada 2024, semangat Sumpah Pemuda seakan terasing di sudut-sudut ruangan kampanye, tertutupi oleh poster-poster calon yang lebih menampilkan senyum yang dipoles daripada ideologi yang tulus. Para pemuda yang seharusnya menjadi garda depan pergerakan, kini kerap tenggelam dalam bayang oligarki yang berkuasa, dimana kepentingan elite lebih dominan daripada cita-cita kebangsaan. Mereka terseret dalam jaringan kekuasaan yang mengendalikan demokrasi dengan modal dan akses, meninggalkan idealisme yang dahulu diikrarkan.
Bertahun-tahun sudah berlalu sejak ikrar persatuan pertamakali diteriakkan oleh para pemuda pada tahun 1928, namun martabat demokrasi kita tampaknya masih tertatih di jalan yang penuh batu karang kepentingan pribadi. John Dewey, seorang filsuf politik Amerika Serikat, pernah mengatakan bahwa “Demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi cara hidup, yakni kehidupan yang dijalani dengan penuh kebebasan dan kesetaraan” (Dewey, 2024). Ironisnya, pemilihan kepala daerah di Indonesia seringkali hanya menjadi “perayaan demokrasi yang semu,” dimana idealisme digadaikan demi kekuasaan, dan persatuan dijual demi suara.
Di tengah hiruk-pikuk ini, pemuda semakin sering dipekerjakan sebagai buzzer, menjadi ‘pasukan siber’ yang menyebarkan narasi pesanan politik demi memenangkan calon yang mereka sendiri belum tentu pahami visi-misinya. Para buzzer ini, dengan bahasa retorisnya, lebih memecah belah daripada menyatukan, lebih menciptakan keramaian tanpa substansi daripada dialog yang mencerahkan.
Dalam setiap kepemudaan ada romantisme. Ada semangat yang menggebu, ada api yang menyala tanpa ragu. Namun, dalam pilkada 2024 ada para pemuda seringkali tidak lebih dari alat propaganda yang digunakan oleh para elite politik. Mereka dipuja sebagai penerus bangsa, namun sekaligus dimanipulasi sebagai ‘pasukan kampanye’ yang rela meneriakkan nama calon tanpa memahami visi-misinya secara mendalam.
Fenomena klientalisme juga kian menambah luka di tubuh demokrasi kita, dimana pemuda kerap terseret dalam hubungan patron-klien, menjadi penerima bantuan materi atau janji posisi yang akhirnya mereduksi peran kritis mereka sebagai agen perubahan. Pemuda yang seharusnya berdiri sebagai pilar moral justru menjadi bagian dari sistem yang mengukuhkan korupsi struktural dalam demokrasi.
Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, pernah berkata bahwa “kaum muda adalah masa depan, tetapi mereka seringkali hanya menjadi penonton dalam arena politik yang dikuasai oleh kekuasaan dan modal” (Bourdieu, 2018).
Pernyataan ini mencerminkan betapa jauhnya realitas demokrasi di Indonesia dari semangat asli Sumpah Pemuda yang memimpikan persatuan yang tulus. Dengan dominasi oligarki yang kuat dan budaya klientalisme yang mengakar, pemuda kini lebih sering menjadi saksi pasif ketimbang aktor aktif dalam perubahan sosial.
Bila pemuda pada 1928 mengikrarkan sumpah persatuan, pemuda hari ini tampak lebih sibuk memperdebatkan hal-hal yang membedakan daripada yang menyatukan. Di satu sisi, Sumpah Pemuda mengajarkan persatuan dalam perbedaan, namun dalam realitas pilkada 2024, perbedaan justru sering dieksploitasi untuk meraih simpati pemilih. Mereka yang seharusnya menyatukan, kini terjebak dalam perdebatan identitas yang diatur oleh elite demi meraih suara, dan keberagaman dijadikan alat kampanye yang dipelintir sesuai kepentingan pragmatis.
Sartre, filsuf eksistensialis, pernah menekankan bahwa “Manusia terjebak dalam kebebasan yang meresahkan, tetapi seringkali memilih kenyamanan dalam belenggu kekuasaan” (Sartre, 1956). Pemuda yang seharusnya menjadi motor penggerak perubahan justru sering terjebak dalam permainan politik identitas yang membatasi pergerakan mereka untuk berpikir bebas. Terjepit antara oligarki, buzzer, dan patronase, mereka terjerat dalam belenggu kekuasaan yang tak memberikan ruang untuk meraih kebebasan berpikir dan bertindak yang sebenarnya.
Pilkada 2024 adalah medan perang yang menyaksikan “sumpah” dan “martabat” sebagai dua kata yang kehilangan makna aslinya. Para calon kepala daerah sibuk bersumpah setia pada rakyat, tetapi seringkali hanya untuk mendapatkan suara dan kemudian melupakan janji mereka. Seperti kata Max Weber, “Politik adalah perjuangan untuk menguasai kekuasaan, tetapi kekuasaan yang beretika adalah kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada masyarakat” (Weber, dalam Bruhns, 2019).
Pilkada bukan sekadar panggung politik, tetapi juga pertaruhan moralitas yang menyentuh inti dari keberadaan demokrasi itu sendiri. Sayangnya, apa yang kita lihat hari ini lebih mirip dengan sirkus politik, dimana kejujuran adalah ilusi dan kebohongan adalah komoditas. Dengan adanya pengaruh oligarki, buzzer, dan klientalisme, panggung pilkada lebih menyerupai pasar gelap dimana segala sesuatu memiliki harga, termasuk suara rakyat dan janji demokrasi.
Rasa-rasanya semangat Sumpah Pemuda harus dikembalikan kepada esensi yang sebenarnya. Pemuda tidak boleh hanya menjadi pion dalam permainan kekuasaan, tetapi harus menjadi aktor utama dalam mengubah wajah demokrasi di Indonesia. Habermas, seorang sosiolog Jerman, pernah menyatakan bahwa “Demokrasi sejati adalah ketika komunikasi terbuka dan partisipatif menjadi pondasi masyarakat” (Habermas, dalam Bolton, 2005). Dalam konteks pilkada 2024, semangat tersebut harus diwujudkan dengan mengedepankan dialog yang jujur, kampanye yang etis, dan partisipasi yang inklusif.
***
Referensi
Bourdieu, P. (2018). Distinction a social critique of the judgement of taste. In Inequality (pp. 287-318). Routledge.
Dewey, J. (2024). Democracy and education. Columbia University Press.
Bolton, R. (2005). Habermas’s theory of communicative action and the theory of social capital. Association of American Geographers, Denver, Colorado, April, 2.
Sartre, J. P. (1956). Being and Nothingness. Philosophical Library. Inc., New York, 956.
Bruhns, H. (2019). ‘Politics as a Vocation’: A contribution to Germany’s democratisation in 1919?. Journal of Classical Sociology, 19(4), 316-330.
Tinggalkan Balasan