Menjaga Marwah Akademik: Seruan Moral Menjelang Pemilihan Rektor Unkhair
Oleh: Asmar Hi Daud
Sebentar lagi Universitas Khairun akan memasuki tahap awal pemilihan Rektor. Momentum ini bukan sekadar proses administratif rutin, melainkan titik penting dalam menentukan arah dan masa depan kampus. Di tengah proses ini, sebuah pesan moral menggugah telah disampaikan oleh Syawal Abdul Adjid (mantan Dekan Fakultas Hukum dan Wakil Rektor III), sekaligus Calon Rektor periode 2021–2025, dalam forum diskusi sivitas Unkhair.
Dalam pernyataan terbukanya, Syawal Abdul Adjid menyoroti gejala yang patut dicemaskan: adanya calon rektor yang menyebut diri hanya sebagai “juru bayar”, munculnya calon yang hanya “mengisi peluang”, dan bahkan mereka yang sekadar “mencari peluang”. Ini menunjukkan bahwa ada degradasi dalam cara kita memaknai kepemimpinan akademik. Jabatan rektor bukan posisi seremonial atau distribusi kekuasaan, tetapi tanggung jawab moral dan intelektual untuk memimpin Unkhair sebagai majelis ilmu yang memuliakan nalar, integritas, dan kemaslahatan publik.
Kampus Bukan Alat Transaksi
Kritik terhadap lemahnya manajemen keuangan dan kepegawaian bukan tanpa dasar. Praktik pengangkatan pejabat fungsional tanpa proses asesmen yang transparan, alih status dosen tanpa kompetensi memadai, hingga keterlambatan pembayaran hak dosen menunjukkan adanya problem struktural yang butuh koreksi mendalam. Jika kampus terus dikelola secara administratif transaksional, maka cita-cita akademik akan terpinggirkan.
Syawal mengingatkan bahwa pemimpin universitas harus memiliki rekam jejak yang kuat, bukan hanya administratif tetapi juga akademik. Ia menekankan pentingnya memilih calon rektor yang telah terbukti kapasitas, integritas, dan komitmennya. Dalam pandangannya, sosok seperti Prof. Abdulrasyid, Dr. Nurhalis, dan Dr. Nurhasanah adalah figur yang layak dipertimbangkan karena telah menunjukkan konsistensi dalam kepemimpinan ilmiah.
Senat Harus Berdiri Tegak
Sebagai lembaga perwakilan tertinggi sivitas akademika, Senat Universitas Khairun memegang tanggung jawab besar dalam menjaga marwah dan objektivitas institusi ini. Pemilihan rektor harus dilakukan secara ilmiah, jujur, dan transparan, bukan berdasarkan tekanan kelompok atau janji jabatan. Rektor tidak boleh “cawe-cawe” dalam menggiring pilihan. Campur tangan seperti itu berbahaya dan menggerogoti kepercayaan sivitas kepada proses demokrasi akademik.
Rektor adalah simbol pemersatu. Ia harus mengayomi seluruh kelompok, bukan menjadi representasi dari segelintir elite kampus. Ketika rektor berpihak pada satu kubu atau bahkan menjadi bagian dari persekongkolan kekuasaan, maka ia kehilangan moralitas akademiknya.
Maju Bersama Dengan Ilmu
Syawal Abdul Adjid menutup pernyataannya dengan menyerahkan “mimbar ilmu dan majelis ilmu” kepada Senat Universitas Khairun. Seruan ini harus dimaknai bukan sekadar kritik, melainkan ajakan tulus untuk mengembalikan kampus ke marwah keilmuannya.
Universitas Khairun membutuhkan pemimpin yang berpikir strategis, bertindak etis, dan berpihak pada kualitas. Pemimpin yang bisa menggerakkan seluruh sumber daya menuju universitas yang inklusif, produktif, dan berdampak nyata.
Mari kita wujudkan Unkhair yang maju bersama dengan ilmu, bukan maju bersama janji jabatan.
Tinggalkan Balasan