Problematik Pembentukan Daerah Otonomi Baru Sofifi (Kajian Yuridis)

Hendra Karianga. Foto_Ist

Oleh: Hendra Karianga (Dosen Fakultas Hukum Universitas Halmahera & Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate)

Undang-Undang No.46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara pasal 9 mengatur dan menentukan Sofifi sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara, kini telah memasuki 25 Tahun realisasi Sofifi sebagai sebuah kota pusat pemerintahan dan pembangunan Provinsi Maluku Utara belum menjadi kenyatan. Realisasi Sofifi sebagai sebuah kota telah nmenimbulkan perdebatan panjang, dan mengalami kebuntuan olehkarenanya perlu ada kesepakan kolektif antara pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan Pemerintah Provinsi untuk membentuk Sofifi yang sekarang kelurahan menjadi kota otonom sekaligus pusat pemerintahan, tanpa ada bangunan kesepakatan yang bersifat kolektif, dari kedua pemerintahan dan komponen masyarakat, Sofifi agak sulit dibentuk menjadi daerah otonom dan berfungsi sebagai kota pusat pemerintahan dan pembangunan Provinsi Maluku Utara.

Mengapa, karena keberadaan Sofifi saat ini hanya sebuah kelurahan yang berada di wilayah administrasi pemerintahan Kota Tidore Kepulauan. Desakan membentuk Sofifi sebagai kota otonom telah lama diperjuangkan dan kini Sherly Laos, Gubernur Maluku Utara kembali menyuarakan meminta pemerintah pusat agar segera merealisasikan Sofifi sebagai daerah otonom terpisah dari kota Tidore Kepulauan.

Permintaan Gubenur Maluku Utara Sherly Laos tentunya memiliki alasan kuat karena Sofifi telah ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Maluku Utara berdasarkan UU No.46 Tahun 1999. Realisasi Sofifi sebagai kota otonom tidak seperti membalik telapak tangan dan serta merta meniadakan otoritas kedaulatan pemerintah Kota Tidore Kepualaun sebagai pemilik wilayah administrasi pemerintahan.

Persetujuan DPRD dan Pemerintah Kota Tidore menjadi sarat mutlak sesuai UU No.23 Tahun 2014 yang mengatur sarat administratif, selain sarat dasar yang meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya jumlah penduduk, luas wilayah dan faktor keamanan (potensi konflik). Sofifi harus direalisaiskan sebabai kota otonom pusat pemerintahahan dan pembangunan Provinsi Maluku Utara berdasarkan kerangka legal yang bersifat konstitutif.

Membentuk Sofifi sebagai daerah otonom baru harus melalui kajian komprehensif dari asepk politik, hukum, kemanan dan social budaya, mengapa pertama karena Sofifi status adalah kelurahan yang berada pada wilayah hukum administrasi pemerintahan Kota Tidore berdasarkan UU No.1 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara. Kedua Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 secara atributif mengatur, membentuk Kota otonom harus dengan Undang-Undang.

Memisahkan sebagian wilayah administratif dari sebuah daerah otonom harus melalui mekanisme undang-undang dan tidak boleh menabrak undang-undang. Inilah yang menjadi problematik mengapa peningkatan status Sofifi menjadi daerah otonom yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara harus dilakukan dengan benar. Ketiga Pasal 9 ayat (1) UU No.46 Tahun 1999 menegaskan Ibu kota Propinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi, bukan berkedudukan di Kota Sofifi, frasa berkedudukan di Sofifi beda dengan berkdudukan di Kota Sofifi.

Artinya perlu meroba Sofifi dari sebuah kelurahan menjadi Kota otonom pusat pemerintahan Propinsi Maluku Utara. Adalah keliru dan amat keliru jika pasal 9 ayat (1) UU No.46 Tahun 1999 di tafsirkan mutatis mutandis Sofifi menjadi kota otonom tanpa pembentukan melalui undang-undang sebagaimana perintah UUD NRI 1945. Keinginan untuk membangun Sofifi sebagai pusat pemerintahan harus diletakan Sofifi sebagai sebuah Kota otonom bukan Kecamatan apalagi Kelurahan.

Tarik Ulur Sofifi Sebagai Daerah Otonom

Keinginan membangun pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara telah lama bergema sejak diresmikan oleh pemerintah, 5 (lima) tahun pusat pemerintahan berada di Kota Ternate adalah masa transisi untuk persiapan infrastruktur, setelah melewati 5 (lima) Tahun perpindahan itu dilakukan ke Sofifi. Penulis amat beruntung waktu itu ikut menyaksikan bagaimana proses perpindahan ibukota provinsi dari Kota Ternate ke Sofifi, sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara priode 2004-2009 dan 2009-2014 ikut berkontribusi percepatan membangun sofifi sebagai kota pusat pemerintahan Provisi Maluku Utata, ditengah keterbatasan anggaran melalui komisi dan badan anggran bahkan melalui pendapat fraksi ketika itu.

Ditengah-tengah keterbatasan anggaran (APBD Provinsi Maluku Utara) Gubernur Maluku Utara Thaib Armayn memilik gagasan besar membangun sofifi sebagai kota pusat pemerintahan. Politik anggaran (budgeting policy) yakni 80 % (delapan puluh persen) belanja langsung pada dinas PUPR digelontorkan untuk membangun infrastruktur Sofifi sebagai pusat pemerintahan.

Upaya meningkatkan status sofifi menjadi kota otonom terus diperjuangkan, hal tersebut sesuai juga keinginan pemerintah pusat, sebab tanpa ada peningkatan status Sofifi sebagai kota otonom, alokasi anggaran APBN tidak akan dikucurkan, untuk membangun Sofifi, hukum keuangan negara memang menentukan demikian alokasi dan relokasi APBN dikucurkan untuk pembangnan Sofifi apabila status Sofifi menjadi Kota otonom. Desa dan kelurahan bukan domain APBN, Desa dan kelurahan domain Pemerintah Kota, dalam hal ini berlaku asas hukum dekonsetrasi dan tugas pembantuan.

Titik temu harus dilakukan dan hal tersebut hanya bisa melalui dialog dengan pemerintah Kota Tidore Kepulauan, harus ada kesepakatan bersama pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, untuk mencapai kesepakatan perlu di lakukann dialog. Salah besar kalau Sherly laos Gubernur Maluku Utara berkeinginan merubah Sofifi menjadi Kota otonom pusat pemerintahan menjadikan pemerintah pusat sebagai tameng tanpa berdialog dengan Pemerintah dan Rakyat Kota Tidore Kepulauan.

Tarik ulur peningkatan status Sofifi menjadi kota otonom telah berjalan puluhan tahun, kini saatnya membangun dialog Bersama agar Sofifi menjadi daerah kota otonom sekaligus pusat pemerintahah Provinsi Maluku Utara menjadi kenyataan. Sultan Tidore H Husain Syah beberapa waktu lalu menyampaikan pesan kepada Presiden Prabowo Subianto melalui Vidio Confrence (VC) agar Pemerintah melakukan revisi atas UU No.46 Tahun 1999 khusus pasal 9 ayat (1) yang menentukan Sofifi sebagai ibukota, di robah menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara di Kota Tidore Kepulauan bertempat di Sofifi, menjadi perenungan berasama untuk memecah kebuntuan dialog yang selama ini terjaadi karena awal pembentukan Maluku Utara Kota Tidore memang masuk menjadi salah satu Ibukota berbarengan dengan daerah lain seperti Goal, Sidangoli dan Sofifi. Persoalan adalah mungkinkah ide Sultan Tidore H Husain Syah itu bisa terwujud?, dalam politik selalu ada kemungkinan sebagai pilihan, dari berbagai pilihan tentu harus dilakukan dialog secara komperhensif diantara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah Provinsi Maluku Utara dan pemerintah Kota Tidore kepulauan.

Aspek Legal Pembentukan Sofifi Sebagai Kota Otonom

Pasal 18 UUD NRI 1945 menegaskan pembentukan daerah otonom diatur dengan Undang-undang, sarat pembentukan sebuah dearah otonom baik menyangkut sarat administrasi, sarat dasar (kemampuan ekonomi, potensi daerah,social budaya,kependudukan, luas wilayah, kondisi geografis, dan kemanan) diatur berdasarkan UU No.23 Tahub 2014 tentang Pemerintah Daerah jo PP No.78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Pasal 7 dan 8 huruf c PP No.78 Tahun 2007 menegaskan syarat fisik kewilayahan untuk pembentukan suatu kota paling sedikit 4 (empat) Kecamatan sarat minimal harus terpenuhi. Dari prespektif hukum tersebut jika Sofifi dibentuk menjadi kota otonom sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara, maka harus memenuhi sarat kewilayahan minimal yakni 4 (empat) wilayah Kecamatan. Persoalan hukum selanjutnya dari mana 4 (empat) Wilayah Kecamatan itu diperoleh, tidak ada jalan lain selain mengambil wilayah terdekat yakni (1) Kecamatan Oba, (2) Kecamatan Oba Tengah, (3) Kecamatan Oba Utara, dan (4) Kecamatan Oba Selatan.

Empat kecamatan tersebut berada pada wilayah hukum administrasi pemerintahan Kota Tidore Kepulauan, sehingga harus mendapat persetujuan/keputusan DPRD dan Pemerintah Kota Tidore Kepulaun. Keputusan dan pesetujuan bersifat mutlak dan tidak boleh disimpangi apalagi direkayasa dengan alasan diluar alasan hukum tersebut.

Dengan memperhatikan kerangka legal pembentukan kota Sofifi maka jalan dialog antara pemerintah Provinsi Maluku utara dengan Pemerintah kota Tidore Kepulauan menjadi penting dan amat urgent. Upaya menggiring kekuasaan pusat dalam pembentukan Sofifi sebagai Kota otonom dengan mengabaikan perintah konstitusi sebagaimaan telah dijelaskan tersebut, amat berbahaya dan merusak sistem hukum pemerintahan yang bersifat button up dan mempertontonkan arogansi kekuasan yang bukan zamanya lagi, serta produk hukum yang mengabaikan aspirasi dan hak mutlak pemerintah kota Tidore cenderung menimbulkan konflik dan benturan serta sengketa.

Indonesia negara demokrasi, dalam membuat setiap produk hukum termasuk UU tentang Kota Sofifi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara harus mengindahkan aspek hukum, dihindari pemaksaan kehendak yang berdampak terjadi benturan ditengah-tengah masyarakat.

Hukum dibuat untuk ditaati bukan untuk dilanggar, bila ada benturan dalam membuat suatu produk hukum seharusnya diselesaikan dengan dialog dan negosiasi. Ada persoalan mendasar dalam membentuk Sofifi sebagai kota otonom terpisah dari otoritas pemerintah kota Tidore Kepulauan adalah luas wilayah daratan dan jumlah penduduk kota Tidore Kepulauan akan berkurang. Berkurangnya luas wilayah tersebut pasrti berimbas pada perolehan dana transwer pusat ke daerah, kondisi tersebut dapat mengganggu stabiltas fiscal Kota Tidore karena berkurangnya luas wilayah daratan dan jumlah penduduk pasti berkuranya dana transfer pusat ke Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.
Pembentukan Sofifi sebagai kota otonom menjadi suatu keharusan akan tetapi tidak boleh mengabaikan asepk hukum, politik social budaya dan keamanan, Sofifi menjadi penting untuk diskusikan, tidak ada jalan lain selain membangun dialog yang konstruktif antara pemerintah Provinsi Maluku Utaran dengan Pemerintah kota Tidore Kepulauan untuk menemukan kesaaman visi Membangn Ibu Kota Provinsi Maluku Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini