Pejabat Pemprov Akui Usulan Tunjangan Anggota Deprov Peran Mantan Sekwan dan Ketua DPRD

Mantan Ketua DPRD Kuntu Daud dan mantan Sekwan Abubakar Abdullah. Foto|Istimewa

pojoklima, Penyelidikan dugaan korupsi tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Utara, makin meruncing menyusul pengakuan mengejutkan seorang pejabat pemprov atas peran sejumlah oknum di balik aliaran dana ‘haram’ ratusan miliar rupiah.

Dalam sebuah percakapan dengan jurnalis Media Grup (MG) belum lama ini, pejabat pemprov ini membeberkan ihwal dana tunjangan senilai Rp 60.000.000 (enam puluh juta) kepada masing-masing anggota DPRD selama periode 2019-2024. Total tunjangan tergolong bombastis yakni Rp 147.113.285.492 (Seratus Empat Puluh Tujuh Miliar Lebih).

Pejabat yang enggan ditulis namanya ini menyebutkan, semula penyusunan naskah Pergub Nomor: 7 Tahun 2019 terkait besaran tunjangan anggota DPRD Maluku Utara diinisiasi mantan Sekwan Abubakar Abdullah dan mantan Ketua DPRD Kuntu Daud, untuk memuluskan penyaluran kepada masing-masing anggota deprov.

“Sekwan tentunya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) bertugas merancang, menyusun dan mengusulkan anggaran sebanyak itu untuk disetujui mantan Gubernur Abdul Gani Kasuba, “katanya.

Ploting anggaran ini terhitung sejak 2019 hingga 2024 untuk satu periode masa kerja anggota DPRD. Sedangkan Kuntu Daut lantaran jabatannya sebagai Ketua DPRD, juga berperan hingga tunjangan sebanyak itu berhasil tersalur ke rekening masing-masing anggota DPRD.

Hingga berita ini ditayang, mantan Ketua DPRD Kuntu Daud dan mantan Sekwan Abubakar Abdullah, yang dikonfirmasi via handphone terkait pengakuan pejabat pemprov belum memberikan tanggapan.

Sebelumnya praktisi hukum Agus Tampilang SH, menegaskan aliran dana tunjangan Rp 60.000.000 kepada masing-masing anggota DPRD yang diterima setiap bulan selama periode 2019-2024 merupakan perbuatan melawan hukum.

Disebut perbuatan melawan hukum karena baik pihak yang mengatur skema penganggaran hingga aliran dana kepada anggota DPRD dilakukan secara sadar. Apalagi, ploting anggaran dengan bersandar pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 18 tahun 2017 yang mengatur tentang gaji dan tunjangan anggota DPRD merupakan upaya perampokan uang negara yang harus ditelusuri hingga menjadi terang.

Ploting anggaran jika sudah bersandar pada PP tidak seharusnya diterbitkan lagi perataruran gubernur (Pergub) yang menabrak regulasi di atasnya dalam hal ini PP Nomor:18 tahun 2017.

“Sekarang yang menjadi persoalan kan kalau sudah ada PP yang atur ini lalu pergub ini atur apa lagi. Kalau ini kemudian diatur lagi terkait tunjangan anggota dewan. Ingat aturan itu tidak bisa membahas dua persoalan yang sama. Kalau peraturan yang lebih tinggi sudah mengatur tunjangan dan gaji anggota dewan berarti peraturan turunan tidak bisa mengatur lagi,”katanya kepada Media Grup belum lama ini.

Lantaran itu, ia berpandangan penyidik Kejaksaan Tinggi tidak perlu ragu menyeret aktor yang berperan di balik pengganggaran tunjangan anggota DPRD sebagai tersangka.

Sebab, perbuatan para pelaku selain bertentangan dengan undang- undangan tindak pidana korupsi. Juga bertentangan dengan undang-undang perbendaharawan karena menyalurkan uang bagi pos-pos anggaran yang bertentangan.

Apalagi, besaran tunjangan tidak disesuaikan kondisi fiskal daerah. Belum lagi ploting anggaran dilakukan bertepatan dengan bencana kemanusiaan yakni covid-19. “Jika benar Pergub yang mengatur besaran tunjangan anggota deprov lahir di tengah covid ini kejahatan luar biasa yang harus diusut tuntas,”tegasnya lagi. (mg-red)