PAN-Islamisme dan Dinamika Politik Islam di Indonesia

Komaruddin Nursi Kasman Ar.

Oleh: Komaruddin Nursi Kasman Ar.(Mahasiswa Departemen Sejarah UGM)

Sejak pertengahan abad ke-15, dunia memasuki era penjelajahan yang dipelopori oleh Portugis dan Spanyol, lalu diikuti oInggris, Prancis, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Era ini dinamakan era penjelajahan Samudra lantaran banyak pelaut-pelaut dari Eropa yang berlayar mencari rute baru sekaligus wilayah baru. Faktor utama yang menjadi motif di balik meningkatnya penjelajahan Samudra oleh para pelaut Eropa adalah jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmaniyah pada tahun 1453 M, di masa Sultan Muhammad Al Fatih.

Konstantinopel merupakan kota yang menghubungkan antara Dunia Barat dengan Timur yang memiliki beberapa komoditas langka dan bernilai tinggi, antaranya rempah-rempah; sehingga dengan jatuhnya konstantinopel yang merupakan pusat ekonomi wilayah Eropa dan Mediterania ke tangan Turki Utsmaniyyah, membuat mereka harus mencari rute baru untuk langsung menuju ke sumber dari rempah-rempah tersebut.

Semenjak itulah dimulai era Kolonial. Dimana wilayah-wilayah baru yang ditemukan di eksploitasi sumber dayanya, mereka dirikan koloni-koloni di sana, dan bahkan menganeksasi atau menguasai wilayah-wilayahnya jika sudah ada pemerintahan lokal di sana. Dan ini berlangsung selama 4 abad ke depan. Asia merupakan panggung utama dari era Kolonial, dan Kepulauan Indonesia salah satunya. Banyak catatan-catatan sejarah yang menceritakan secara komprehensif maupun detail terkait dengan perjalanan Kepulauan Indonesia sejak kedatangan Bangsa Eropa dan pengaruh yang diberikan oleh mereka terhadap wilayah tersebut.

Kita tidak akan membahas lebih jauh tentang hal itu agar tidak terlalu melebar pembahasannya secara temporal. Singkat cerita, pada akhir abad ke 19, Kepulauan Indonesia berada di bawah kendali Pemerintah Belanda yang dikenal dengan Hindia Belanda pasca kebangkrutan VOC (Vereniging Oost-Indische Compagnie), sehingga pemerintah mengambil alih.

Dimasa yang sama, Imperialisme juga mulai hadir dalam dinamika penjajahan di Dunia. Terutama di negara-negara koloni Inggris. Tentu saja Imperialisme juga pada akhirnya memberikan dampak dan pengaruh pada para native people. Sehingga kolonialisme dan imperialisme sama-sama memberikan dampak buruk. Hal ini kemudian menimbulkan semangat-semangat anti-barat pada kalangan kaum Intelektual. Di antara mereka adalah kaum intelektual Muslim.

Menurut mereka, hegemoni imperialisme dan kolonialisme saat ini merupakan representasi akibat dari kemunduran dunia Islam. Hal ini juga dipicu oleh runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani pasca perang Dunia I, yang mengakibatkan dunia Islam kehilangan payung yang menaunginya. Melihat krisis yang dihadapi oleh dunia Islam saat itu, membuat para tokoh Islam dunia merasa perlu untuk mempersatukan kembali Islam dalam satu kesatuan.

Pan-Islamisme hadir sebagai solusi untuk mengatasi krisis tersebut. Tokoh-tokoh yang paling lantang menyuarakan gagasan ini adalah Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sebelumnya sudah ada gagasan yang bertujuan untuk mempersatukan dunia Islam di dunia, dikenal dengan Ittihad-i Islam. Konsep inilah yang kemudian diserap oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh dan digunakan dalam gagasan Pan Islamismenya.

Tentu saja ada pergeseran makna setelah konsep tersebut diadopsi. Jika ittihad-i Islami menekankan pada persatuan geopolitik dalam kawasan Islam, Pan-Islamisme menekankan pada identitas keagamaan sebagai pengikatnya.
Di Indonesia, Pan-islamisme menjadi salah satu ideologi yang melandasi tokoh-tokoh Islam nasional dalam pemikiran maupun gerakan politik mereka. Di antaranya adalah Muhammad Natsir, Agus salim, Tjokroaminoto, dan Kartosoewirjo. Akan tetapi penerapan mereka dalam Pan-Islamisme yang dilakukan sungguh sangat berbeda, khususnya antara Muhammad Natsir dengan Kartosoewirjo.

Pemikiran politik Islam dari Natsir dan Kartosuwiryo sangat erat kaitannya dengan konsep Pan-Islamisme, Marxisme, dan Sosialisme Islam. Ketiga ideologi ini dapat ditelusuri melalui pengaruh guru-guru politik mereka yang terlibat dalam organisasi seperti Jong Islamieten Bond, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Masyumi. Dalam analisis ini, kita akan membandingkan pemikiran kedua tokoh yang terus relevan dalam diskursus politik Indonesia, dari tingkat organisasi hingga panggung politik nasional.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Subandi Rianto pada tesis yang berjudul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK M. NATSIR DAN S.M. KARTOSUWIRYO MENGENAI KONSEP NEGARA BERDASARKAN ISLAM 1920-1959” menunjukkan bahwa Natsir mendapatkan banyak inspirasi dari pemikiran Pan-Islamisme yang diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Ahmad Hasan dari Persis, Ahmad Surkati dari Jamiatul Khair, dan Agus Salim dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Natsir berhasil menerapkan pendekatan diskusi yang lebih demokratis dalam membahas konsep negara yang berlandaskan Islam. Pendekatannya cenderung inklusif dan mendorong partisipasi publik dalam proses politik. Di sisi lain, Kartosuwiryo menunjukkan corak pemikiran yang berbeda. Ia banyak dipengaruhi oleh perpaduan ideologi Marxisme, Pan-Islamisme, dan Sosialisme Islam, terutama dari tokoh seperti Marco Kartodikromo dan Tjokroaminoto. Berbeda dengan Natsir, Kartosuwiryo lebih menekankan pada pembentukan negara Islam yang independen, mengikuti pandangan yang diyakininya, tanpa menggabungkan prinsip-prinsip demokrasi dalam prosesnya.

Perbedaan ini mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam merespons tantangan politik di Indonesia. Natsir berusaha untuk menciptakan ruang dialog dan kerjasama di antara berbagai kelompok, sedangkan Kartosuwiryo lebih condong kepada perjuangan untuk mendirikan negara Islam berdasarkan keyakinan ideologisnya. Keduanya berkontribusi pada dinamika politik Islam di Indonesia, dengan masing-masing memiliki cara yang khas dalam memahami dan merespon konteks sosial dan politik yang ada.

Secara keseluruhan, pemikiran politik Natsir dan Kartosuwiryo mencerminkan dua jalur yang berbeda dalam sejarah politik Islam di Indonesia. Natsir memfokuskan pada dialog dan demokrasi, sementara Kartosuwiryo lebih mendalami upaya mendirikan negara Islam yang lebih tegas. Keduanya meski berbeda, menunjukkan betapa kompleks dan dinamisnya pemikiran politik Islam di Indonesia. Meskipun demikian, pada akhirnya hal ini menunjukan bahwasannya Pan- Islamisme berperan penting terhadap tokoh-tokoh Islam Indonesia yang kemudian bersama-sama membantu Indonesia untuk bisa lepas dari tali kekang Kolonialisme dan pengaruh Imperialisme, atau dengan kata lain, Merdeka.

References:

Anwar, I. C. (2021, November 11). Pengertian Pan Islamisme, Sejarah, Tokoh, dan Tujuan. Tirto.id. Retrieved October 12, 2024, from https://tirto.id/pengertian-pan-islamisme-sejarah-tokoh-dan-tujuan-gkvM

Fandy. (n.d.). Latar Belakang Bangsa Eropa Melakukan Penjelajahan Samudra. Gramedia. Retrieved October 12, 2024, from https://www.gramedia.com/literasi/latar-belakang-bangsa-eropa-melakukan-penjelajahan-samudra
Garadian, E. A. (n.d.). Pan Islamisme – Ensiklopedia. Ensiklopedia Sejarah Indonesia. Retrieved October 12, 2024, from https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Pan_Islamisme

Rianto, S. (2020). PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK M.NATSIR DAN S.M.KARTOSUWIRYO MENGENAI KONSEP NEGARA BERDASARKAN ISLAM 1920-1959.

Formichi, C. (2010). Pan-Islam and Religious Nationalism: The Case of Kartosuwiryo and Negara Islam Indonesia. Indonesia, 90, 125–146. http://www.jstor.org/stable/20798235

Aydın, C. (2006). Beyond Civilization: Pan-Islamism, Pan-Asianism and the Revolt against the West. Journal of Modern European History / Zeitschrift Für Moderne Europäische Geschichte / Revue d’histoire Européenne Contemporaine, 4(2), 204–223. https://www.jstor.org/stable/26265834

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini