SOSIOLOGI BALI
“Bali mengajari kita bahwa kebudayaan bukan hanya soal warisan leluhur, tetapi tentang bagaimana masyarakat merawat, mengubah, atau bahkan mempertahankan apa yang dianggap penting.”
Di akhir tahun 2025, tepatnya tanggal 5-7 Desember, berkesempatan hadir dalam SILAKNAS ICMI, yang dilaksanakan di Hotel Four Points, Kawasan Ungasan Bali. Jujur, baru pertama kali berada di bumi ini.
Pesona tentang Bali yang selama ini mengendap dalam angan, menguar ketika kaki ini menjejak negeri yang dijuluki Island of the Gods (Pulau Dewata).
Bali selalu hadir sebagai paradoks. Sebuah pulau kecil yang menampung keramaian dunia, tetapi juga menyimpan keheningan yang lebih dalam dari suara ombaknya. Ketika kaki menapaki tubuh pulau ini, orang datang dengan gagasan romantik, surga tropis, budaya eksotik, langit yang bersih. Namun Bali bukan sekadar panggung estetik; ia merupakan ruang sosial yang selalu dinegosiasikan, ditabrak arus globalisasi, dipaksa bertarung antara kesakralan dan komoditas.
Di antara bentangan ruang itu, berdirilah Garuda Wisnu Kencana (GWK), patung raksasa yang menjulang sebagai simbol kebudayaan, tetapi sekaligus simbol kapitalisme spektakuler.
GWK, dalam imaji publik, sebuah kebanggaan. Karya seni megah yang mengabadikan Wisnu dan Garuda dalam wujud monumental. Ia menyatakan kekuatan narasi Hindu Bali ke hadapan dunia. Namun bagi sebagian lain, ia merupakan metafora kekuasaan budaya yang dibangun dengan logika industri pariwisata. Di titik inilah Bali memperlihatkan lapisan-lapisan identitasnya yang berlapis. Sakralitas yang dipentaskan, spiritualitas yang dinegosiasi, dan modernitas yang tak mau berhenti tumbuh.
Dalam pandangan Clifford Geertz, kebudayaan merupakan “webs of significance” yang ditenun manusia sendiri (Geertz, 1973 : 89).
Bali, dengan segala ritual dan narasinya, merupakan jaring makna yang rumit. Namun ketika GWK hadir sebagai simbol raksasa di atas bukit kapur, kita melihat bagaimana makna budaya dapat berubah menjadi komoditas visual. Wisnu bukan sekadar dewa “penjaga alam semesta.” Ia menjadi ikon ekonomi. Garuda bukan lagi mitos penyelamat. Ia menjadi objek wisata dengan tiket masuk, tempat swafoto, tari kecak, dan perayaan musik internasional. Modernitas membuat mitologi turun dari langit ke loket penjualan.
Dalam perspektif kritis, fenomena ini selaras dengan pandangan, bahwa kapitalisme cenderung menciptakan ruang-ruang baru untuk sirkulasi modal melalui spatial fix (Harvey, 2005 : 124).
GWK merupakan bagian dari itu. Ruang produksi nilai yang menggabungkan seni, industri, dan pariwisata. Ia bukan hanya patung. Ia merupakan mesin ekonomi yang dikonstruksi untuk mengubah ruang kosong menjadi ruang profit. Bali, dalam konteks ini, bukan lagi “pulau” dalam pengertian geografis, tetapi menjadi lanskap ekonomi yang terus dinarasikan dan dijual.
Namun, apakah salah bila sebuah kebudayaan mengadopsi bentuk-bentuk baru untuk bertahan? Tidak. Kebudayaan hidup dalam aliran, bukan dalam kotak museum. Tetapi yang kritis adalah pertanyaan tentang siapa yang diuntungkan dan apa yang dikorbankan dalam proses monumentalitas itu. Dalam konteks itu, representasi budaya kerapkali dibentuk oleh ketimpangan kuasa (Said, 1994). Dalam GWK, kuasa ekonomi, kuasa politik, dan kuasa narasi bertemu dalam satu tubuh raksasa. Representasi Hindu Bali yang ditawarkan merupakan versi yang telah dipoles untuk konsumsi global, estetik, agung, tetapi terkadang tercerabut dari konteks kesehariannya.
Bali merupakan tubuh yang lelah dengan ironi. Pulau ini menanggung beban jutaan wisatawan, limbah industri, kemacetan, dan properti yang tumbuh seperti rumput liar. Di sisi lain, ia tetap menjadi tempat di mana upacara adat berlangsung dalam ketenangan pagi yang sunyi, tenang, di mana suara gamelan mengalun ketika matahari turun, di mana manusia dan alam masih mencoba berdialog. Inilah Bali yang tak seluruhnya terlihat di balik megahnya GWK.
Di titik ini, refleksi menjadi penting. GWK mungkin dibangun untuk meneguhkan identitas budaya, tetapi identitas tak pernah statis. Ia berubah sesuai ketegangan antara sakral dan profan, antara lokal dan global. Bali mengajari kita bahwa kebudayaan bukan hanya soal warisan leluhur, tetapi tentang bagaimana masyarakat merawat, mengubah, atau bahkan mempertahankan apa yang dianggap penting. GWK menjadi bukti bahwa kebudayaan dapat menjadi ruang pertarungan. Antara mereka yang ingin menjaga kesucian ruang dengan mereka yang melihat peluang ekonomi. Antara estetika spiritual dengan estetika pariwisata.
Dalam analisis sosiologis, Bali merupakan miniatur dunia global. Karenanya, destinasi wisata modern selalu berada dalam kondisi “permanently unfinished,” tak selesai, tak stabil, selalu dibangun kembali mengikuti arus selera global. GWK merupakan bagian dari ketakselesaian itu. Ia hadir untuk membingkai Bali sebagai ruang spektakuler yang bisa dilihat dari satelit, tetapi sekaligus menyembunyikan kerentanan ekologis dan sosial masyarakat lokal.
Meski demikian, kita tidak harus memandang GWK semata sebagai ancaman. Ia bisa juga dibaca sebagai bentuk artikulasi baru masyarakat Bali dalam merespons globalisasi. Dalam perspektif Homi K. Bhabha tentang “cultural hybridity” (Bhabha, 1994 : 112), kebudayaan selalu lahir di ruang-ruang pertemuan, negosiasi, dan hibriditas. GWK merupakan hibriditas itu : seni modern bertemu mitologi kuno, ekonomi pariwisata bertemu spiritualitas Hindu, politik identitas bertemu estetika global.
Namun hibriditas tanpa kritik hanya akan menghasilkan kekosongan makna. Bali membutuhkan kritik untuk terus menjaga keseimbangan antara modernitas dan kearifan lokalnya. Ia membutuhkan refleksi agar tidak terperangkap menjadi objek dalam narasi wisata global. GWK, dalam konteks ini, menjadi cermin bagi masyarakat Bali dan Indonesia: apakah kita membangun monumentalitas untuk merayakan budaya, atau sekadar memoles wajah untuk pasar?
Pada akhirnya, Bali merupakan pulau yang berbicara dengan dua suara : suara lembut tradisi dan suara bising industri. Di antara suara itu, GWK berdiri sebagai simbol yang ambigu, indah sekaligus problematik. Namun di balik ambiguitas itu, Bali tetap mengajarkan kita bahwa kebudayaan bukan tentang diam, tetapi tentang bergerak, menegosiasi, dan menciptakan makna baru di tengah dunia yang terus berubah.[]
