GEOPOLITIK MUHAMMADIYAH
“Geopolitik Muhammadiyah menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu lahir dari senjata dan dominasi, tetapi dari konsistensi nilai, kecerdasan strategi, dan keberpihakan pada kemanusiaan”
Istilah geopolitik yang selama ini kita dengar, dan lazim digunakan untuk menjelaskan relasi antara kekuasaan, ruang, dan kepentingan strategis suatu negara, namun, dalam konteks ini, sengaja disematkan pada organisasi masyarakat sipil keagamaan, yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan di media atas kiprahnya dalam membantu korban bencana di beberapa daerah, Muhammadiyah.
Pada konteks ini, geopolitik tidak selalu bermakna perebutan wilayah atau dominasi kekuasaan, melainkan strategi moral, kultural, dan intelektual dalam merespons dinamika lokal, nasional, dan global.
Sejak didirikan 113 tahun lalu oleh KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah, secara teguh dan berkomitmen memosisikan diri bukan hanya sebagai gerakan dakwah dan tajdid, tetapi juga sebagai aktor sosial yang memiliki orientasi geopolitik demikian khas : *Islam berkemajuan* yang berpihak pada kemanusiaan universal dan keadilan sosial (Nashir, 2015).
*Kesadaran Geopolitik*
Sejak awal,
kesadaran geopolitik Muhammadiyah dapat ditelusuri mulai masa kolonial. Dalam pembacaan KH Ahmad Dahlan tentang ketertinggalan umat Islam, bukan semata akibat teologis, tetapi juga karena posisi politik dan ekonomi umat yang terpinggirkan dalam struktur kolonial global. Karena itu, strategi Muhammadiyah tidak diarahkan pada perlawanan bersenjata, melainkan pada pembangunan manusia melalui pendidikan modern, kesehatan, dan amal sosial.
Pendekatan ini menunjukkan geopolitik kultural Muhammadiyah yang konsisten : membangun kekuatan umat dengan menguasai ruang-ruang strategis pengetahuan dan pelayanan publik.
Sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan menjadi “wilayah geopolitik” Muhammadiyah dalam menghadapi hegemoni kolonial dan modernitas Barat. Dengan kata lain, Muhammadiyah menggeser makna geopolitik dari dominasi teritorial menjadi penguasaan kapasitas sosial dan intelektual.
*Geopolitik Kebangsaan*
Dalam konteks kebangsaan, geopolitik Muhammadiyah tampak jelas pada posisinya terhadap negara Indonesia. Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai *darul ahdi wa syahadah*, negara perjanjian dan kesaksian, yang menuntut keterlibatan aktif umat Islam dalam menjaga dan mengisi negara dengan nilai keadilan dan kemanusiaan.
Sikap ini mencerminkan geopolitik moderasi. Muhammadiyah tidak mengambil posisi oposisi ideologis terhadap negara, tetapi juga tidak larut dalam kekuasaan. Ia menjaga jarak kritis, sembari memastikan bahwa negara tidak jatuh pada otoritarianisme atau liberalisme ekstrem yang mengabaikan keadilan sosial.
Dalam lanskap politik Indonesia yang acap terpolarisasi, posisi ini menjadi strategis dan menentukan keseimbangan nasional.
*Geopolitik Global*
Pada tingkat global, geopolitik Muhammadiyah berakar pada gagasan Islam Berkemajuan. Konsep ini tidak sekadar identitas teologis, melainkan strategi global untuk menghadirkan Islam sebagai kekuatan moral dunia. Muhammadiyah aktif dalam isu-isu kemanusiaan lintas negara, seperti bantuan untuk Palestina, pengungsi Rohingya, korban bencana di berbagai belahan dunia, hingga dialog lintas agama.
Aktivisme ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah membaca geopolitik global bukan dalam logika *clash of civilizations,* sebagaimana yang pernah dikonstatir dalam buku ilmuwan politik terkemuka, Samuel Phillips Huntington (1927-2008), yakni :
*The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order* (1988), tetapi dalam kerangka solidaritas kemanusiaan. Muhammadiyah menolak menjadikan Islam sebagai alat konflik geopolitik, sebaliknya mendorong Islam sebagai etika global yang menentang penindasan, kolonialisme baru, dan ketimpangan global.
Salah satu kekuatan utama geopolitik Muhammadiyah terletak pada Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lembaga sosial Muhammadiyah telah membentuk jaringan sosial yang demikian luas dan berpengaruh. Jaringan ini bukan hanya instrumen dakwah, tetapi juga sarana membangun kedaulatan pengetahuan dan kemandirian umat di tengah arus globalisasi neoliberal.
Perguruan tinggi Muhammadiyah, misalnya, berperan penting dalam produksi wacana Islam moderat, sains, dan kebangsaan. Dalam konteks geopolitik pengetahuan (knowledge geopolitics), Muhammadiyah berusaha keluar dari ketergantungan epistemik pada Barat dengan mengembangkan ilmu yang berakar pada nilai Islam dan realitas lokal.
*Tantangan*
Meski memiliki posisi strategis, geopolitik Muhammadiyah menghadapi tantangan serius. *Pertama*, menguatnya politik identitas global yang acapkali menyeret agama ke dalam konflik kekuasaan. *Kedua*, penetrasi kapitalisme digital dan neoliberalisme yang berpotensi menggerus basis etika dan solidaritas sosial. *Ketiga*, fragmentasi internal umat Islam yang melemahkan posisi tawar kolektif di tingkat global (Hefner, 2019).
Tantangan ini menuntut Muhammadiyah untuk terus memperbarui strategi geopolitiknya, tanpa kehilangan jati diri. Dakwah harus mampu membaca peta kekuasaan global, perubahan teknologi, dan krisis ekologi sebagai isu geopolitik baru yang menentukan masa depan umat manusia.
Geopolitik Muhammadiyah bukanlah geopolitik kekuasaan, melainkan geopolitik nilai. Ia bekerja melalui pendidikan, pelayanan sosial, moderasi beragama, dan solidaritas kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh konflik, ketimpangan, dan krisis moral, posisi Muhammadiyah sebagai kekuatan Islam berkemajuan menjadi semakin relevan. Bantuan 70 milyar lebih bagi bencana Aceh dan Sumatera menjadi bukti kuat geopolitik Muhammadiyah bergerak.
Geopolitik Muhammadiyah menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu lahir dari senjata dan dominasi, tetapi dari konsistensi nilai, kecerdasan strategi, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Go ahead Muhammadiyah.[]

