Ilusi Survei, Demokrasi dan Ketimpangan
Aji Deni (Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku Utara & Dekan FISIP UMMU)
Survei pemilih yang seharusnya menjadi instrumen yang memperjelas harapan masyarakat, sering kali malah berubah menjadi permainan ilusi. Dalam dunia demokrasi yang semakin kompleks dan penuh kepentingan, pertanyaan yang muncul adalah: apakah survei benar-benar mampu menangkap suara rakyat, atau justru menjadi alat yang dimanipulasi untuk melayani pihak-pihak yang berkuasa? Di balik hasil angka yang tersaji dengan rapi, sering kali tersembunyi kebenaran yang jauh lebih kelam dan penuh distorsi.
Survei yang Ilusi dan Penuh Bias?
Jika dilihat dengan mata hati, survei pemilih bisa menjadi sebuah kaca pembesar yang memantulkan harapan rakyat. Dalam perspektif teori representasi aspirasi Pitkin (1967), Mengacu pada teori representasi aspirasi dari Pitkin “The Concept of Representation (1967), mengembangkan teorinya tentang representasi politik, mengemukakan berbagai konsep dan perspektif mengenai bagaimana wakil rakyat atau pemimpin politik seharusnya mewakili kepentingan rakyat dalam sistem demokrasi.
Kaitannya adalah survey sebagai instrumen yang seharusnya dapat mengungkapkan keinginan publik secara jujur, selama dilaksanakan dengan metodologi yang tepat, obyektif, dan tanpa tendensi. Namun, realitanya sering kali berbeda. Dalam dunia yang dipenuhi dengan kepentingan politik, survei bukan lagi sekadar alat untuk menggali aspirasi, melainkan juga untuk menciptakan gambaran yang sesuai dengan keinginan sang pembuat. Banyak survei yang rentan terhadap bias, dari desain pertanyaan hingga cara interpretasi hasil yang lebih mengutamakan tujuan politik daripada keadilan.
Survei bisa saja dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menciptakan ilusi tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh rakyat.
Di negara-negara berkembang, di mana pemahaman tentang pentingnya survei masih terbatas, fenomena response bias semakin mengaburkan kebenaran. Responden, dengan segala ketakutan dan keraguan, lebih memilih menjawab dengan apa yang dianggap ‘aman’ ketimbang menyuarakan pandangan yang sebenarnya.
Dalam kondisi seperti ini, survei bukannya memberikan gambaran yang jelas, malah semakin memperburuk kebingungannya, menyajikan opini yang tidak merepresentasikan kenyataan. Hasil survei bukan lagi cermin yang mengungkapkan wajah masyarakat, melainkan sebuah gambar buram demokrasi yang menyimpang jauh dari kenyataan.
Survei hanya mencerminkan keadaan pada satu titik waktu, padahal preferensi pemilih bersifat dinamis dan tak terduga. Keputusan-keputusan yang terpengaruh oleh isu-isu tertentu, atau bahkan perasaan sementara terhadap seorang kandidat, sering kali terjebak dalam hasil survei yang tampak stabil dan menggoda untuk dijadikan patokan.
Namun, apakah kita tidak tahu, bahwa opini yang dibentuk pada saat itu bisa hancur dalam sekejap, terhantam oleh perubahan situasi yang tak terduga? Hasil survei yang dijadikan satu-satunya acuan justru bisa menyesatkan, menciptakan ilusi kestabilan dalam suatu dukungan politik arus massa yang terus berubah. Demokrasi yang Tertutupi Ketimpangan.
Namun, jauh lebih menyedihkan lagi, survei dalam banyak hal hanya menjadi alat untuk memperbesar ketimpangan yang ada. Masyarakat yang sudah terpinggirkan semakin dilupakan dalam peta survei yang dirancang oleh kelompok elite. Survei tidak hanya mengukur opini masyarakat, tapi sering kali turut membentuk opini yang didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam banyak hal, survei digunakan untuk memperkuat agenda politik elite, menggiring opini publik ke arah yang lebih menguntungkan mereka, sementara kelompok marginal tetap berada di bayang-bayang.
Menurut pandangan Karl Marx, politisi yang kaya—sebagai bagian dari kelas kapitalis—justru lebih cenderung untuk mempertahankan sistem yang menguntungkan posisinya. Kebijakan pro-bisnis yang mereka usung lebih banyak menguntungkan kaum kaya, tanpa memberikan dampak berarti terhadap pengurangan kemiskinan.
Kebijakan-kebijakan ini lebih sering memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, bukan mengatasinya. Dalam pandangan Marx, mereka yang berada dalam kelas penguasa, tidak pernah memiliki insentif untuk mengubah struktur sosial yang sudah ada, yang memang mendukung kekayaan mereka. Sebuah ironi yang pahit: politisi kaya dengan janji kesejahteraan, namun lebih memilih mempertahankan status quo yang menguntungkan dirinya.
Dalam sistem yang seharusnya mencerminkan keadilan dan kebebasan, Robert Michels dengan Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, (1911) mengingatkan kita bahwa dalam realitasnya, demokrasi hanya berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan di tangan segelintir elite yang terus menguatkan posisinya. Seperti roda yang tak pernah berhenti berputar untuk menguntungkan mereka yang sudah kuat, sementara yang lemah terperosok lebih dalam ke dalam kemiskinan.
Politisi kaya yang memegang kekuasaan akan terus berputar dalam lingkaran elite, berusaha mempertahankan kepentingan kelompok mereka. Dalam dunia politik yang penuh ketidaksetaraan, teori Iron Law of Oligarchy –hukum besi oligarki, memberikan gambaran yang lebih suram. Dan biasanya itu berpusat orang kaya, yang mungkin saja mudah membeli segala nilai tukar kekuasaan politik dengan uangnya.
Di tengah desakan hidup yang semakin menyesakkan, ketika setiap hari dipenuhi oleh kerawanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan, ada mereka yang dengan mudah menguasai panggung politik, melangkah dengan percaya diri, dibalut kekayaan yang tak terbatas. C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956) menggambarkan bahwa kekuasaan politik, ekonomi, dan militer telah terjebak dalam genggaman segelintir orang kaya yang terus menjaga cengkeraman dengan politik yang tak menyentuh penderitaan rakyat. Di setiap ajang pemilu, pare elite datang dengan janji manis, tetapi menggunakan kekayaannya sebagai alat tukar legitimasi politik untuk merebut suara, bukan demi kesejahteraan bersama, tetapi demi mempertahankan kemewahan dan kuasanya. Di balik itu, banyaknya suara yang seharusnya dihargai, hilang begitu saja di hadapan uang yang berkuasa.
Ketika rakyat miskin hanya bisa berharap pada janji yang jarang ditepati, mereka yang kaya terus menerus menggenggam kuasa, menjadikan politik sebagai medan pertarungan yang hanya memperlebar jurang ketimpangan.
Bahkan di balik jendela kaca yang tertutup rapat, kekayaan semakin terkonsentrasi, dan kekuasaan semakin berpihak pada segelintir orang yang memanfaatkan kemiskinan sebagai alat untuk berkuasa.
Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2013) mengungkapkan dengan tajam bahwa ketimpangan ekonomi bukan hanya terjadi secara alami, tetapi adalah hasil dari sistem yang dirancang untuk menjaga kekayaan tetap berada di tangan mereka yang sudah berada di puncak. Misalnya dalam elektoral seperti Pilkada, yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat, malah berubah menjadi arena bagi para plutokrat (politis kaya raya) dan kleptokrat (pejabat yang korup) yang mengendalikan jalannya pemilu dengan cara yang tak tampak oleh mata, namun sangat terasa dampaknya bagi mereka yang hidup dalam kesusahan seperti rakyat jelata. Media dipakai untuk memanipulasi opini publik, dan rakyat miskin kembali diseret dalam pertempuran politik yang mereka tak pernah menang, bahkan sebelum dimulai.
Buku saya, Elite Politik, Demokrasi, dan Ketimpangan (2024), mengungkapkan bagaimana ketimpangan politik semakin dalam, dengan kekuasaan dan uang yang terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Partai-partai politik, yang seharusnya menjadi wadah bagi aspirasi rakyat, lebih sering kali menjadi alat bagi elite untuk memperkuat posisi mereka.
Kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kaum elite ini semakin memperburuk ketimpangan, sementara rakyat miskin terus tersingkirkan dalam perjalanan politik yang semakin jauh dari harapan mereka. Politik Klientelisme yang Memperburuk Ketimpangan
Di tengah ketimpangan yang semakin memburuk, muncul pula fenomena politik klientelisme, memberikan bantuan langsung kepada kelompok tertentu dengan harapan memperoleh dukungan politik.
Bantuan ini, meskipun terlihat baik di permukaan, hanya memberikan solusi sementara mengurangi nyeri kemiskinan sesaat, namun tidak mampu mengatasi akar permasalahan. Proyek-proyek sosial yang diberikan lebih banyak sebagai umpan untuk meraih suara, dan hanya berfokus pada pencapaian jangka pendek. Meskipun sebagian atau mungkin saja segelintir orang saja mendapat manfaat, itu tidak cukup untuk mengubah ketimpangan struktural yang menghimpit rakyat. Bantuan ini hanya sebatas bantal empuk untuk menyamarkan luka yang lebih dalam.
Politik patronase, yang sering dipakai oleh politisi untuk menarik dukungan, hanya memberi secuil bantuan sementara, namun tidak pernah menyentuh akar masalah ketimpangan sosial. Politisi memberikan proyek kecil-kecilan untuk memuaskan hasrat sesaat, namun ketidakadilan struktural tetap ada, mengunci mereka yang tak punya suara dan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Apakah Kandidat Kaya Bisa Mensejahterakan Rakyat Miskin?
Apakah benar politisi kaya mampu mensejahterakan rakyat miskin? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan melihat lebih dalam pada ideologi dan niat politik sang kandidat. Politisi kaya berperilaku kapitalisme pro-pasar sering kali lebih fokus pada kebijakan yang memperkuat sektor swasta, yang hanya menguntungkan kaum elite. Ciri khasnya, apakah selama mengendalikan pemerintahannya, hartanya semakin berkurang karena dengan kebaikannya digunakan untuk membantu pemerintah dalam mengatasi ketimpangan struktural meluas di masyarakat? Atau justru sebaliknya hartanya semakin tumbuh membesar berlipat ganda, ketika program pengentasan kemiskinan tidak mengurangi angka kemiskinan.
Namun, dalam dunia yang kerap diwarnai ketidaksetaraan seperti ini, di mana politisi kaya terus menikmati keuntungan dari posisinya, apakah ada harapan untuk perubahan yang lebih baik? Sulit untuk percaya bahwa mereka yang hidup dalam kemewahan dan kekuasaan akan mampu memahami penderitaan rakyat yang jauh lebih miskin, apalagi berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun janji perubahan seringkali terdengar indah, kenyataannya adalah bahwa hanya dengan keberanian dan integritas sejati, kita bisa berharap bahwa ketimpangan sosial-ekonomi yang ada bisa diatasi. Tanpa itu, survei yang dilakukan hanya sekedar sebagai kaca pembesar dan ilusi, sedangkan demokrasi tetap akan terus terlilit dalam jaring-jaring ketimpangan ekonomi yang semakin memperburuk masyarakat miskin.
Tinggalkan Balasan