Takzil: Simfoni Altruistik di Tengah Riuh Ramadan
Rahmat Abd Fatah (Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
Takzil bukan sekadar makanan yang membatalkan dahaga dan lapar. Ia adalah dentingan rasa yang menggema di relung kemanusiaan. Kata takzil, yang berakar dari bahasa Arab ta’jil, bermakna menyegerakan, bukan semata soal waktu, tetapi tentang ketulusan yang tak perlu ditunda. Dalam sepotong Kue Talam, dalam segelas air yang membasuh tenggorokan kering, bersemayam sebuah makna yang lebih luas dari sekadar berbuka, ia adalah bahasa cinta yang merangkul jiwa-jiwa yang haus akan kehangatan sosial.
Takzil bukan hanya penanda waktu magrib, tetapi juga gerak batin yang menyalakan simpul-simpul solidaritas. Di setiap nampan yang terhidang, di setiap tangan yang terulur, di situlah takzil menjelma menjadi simfoni altruistic, sebuah harmoni kepedulian yang menyeberangi batas identitas dan sekat sosial.
Sosiolog Robert D. Putnam menyebut bahwa kekuatan masyarakat terletak pada modal sosial yang dibangun, jejaring kepercayaan yang terjalin melalui kebersamaan dan norma sosial. Dalam tradisi takzil, modal sosial ini hadir sebagai energi yang menggerakkan komunitas. Lihatlah, bagaimana di tepi jalan, sekelompok pemuda membagi-bagikan takzil dengan wajah berbinar. Tak ada pertanyaan tentang siapa yang kaya atau miskin, siapa yang berkuasa atau yang terpinggirkan. Semua dirangkul dalam satu ruang kebersamaan, diikat oleh rasa percaya bahwa berbagi adalah bahasa universal yang membentangkan jembatan kemanusiaan.
Takzil tidak sekadar memperkuat jejaring sosial, tetapi menumbuhkan rasa memiliki yang mengakar di hati masyarakat. Di masjid, di pelataran rumah, di sudut gang kecil, di mana pun takzil hadir, di situlah modal sosial tumbuh dan mengokohkan fondasi persaudaraan. Sosiolog Auguste Comte pernah menyebut altruisme sebagai panggilan batin yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa pamrih. Dalam tradisi takzil, altruisme berwujud dalam keikhlasan yang tak membutuhkan sorot kamera atau tepukan tangan.
Orang-orang yang berbagi takzil sering kali tak dikenali namanya, tak dicatat dalam deretan penghargaan. Mereka yang menyelipkan sebungkus nasi kotak ke tangan anak jalanan, mereka yang menyajikan segelas es sirup kepada pengendara yang kelelahan, merekalah para penutur bahasa cinta yang paling jujur. Altruisme dalam takzil tak meminta balasan, sebab keindahannya justru terletak pada ketulusan yang bersinar tanpa riak.
Takzil mengajarkan bahwa berbagi adalah nyanyian sunyi yang mengalun lembut di dada. Di situlah nilai kemanusiaan menemukan ruangnya tidak dalam riuhnya tepuk tangan, tetapi dalam senyum yang mengembang di wajah mereka yang menerima.
Sosiolog Interaksionisme simbolik George Herbert Mead mengajarkan bahwa setiap tindakan sosial mengandung simbol yang menciptakan makna mendalam. Takzil, dengan segala kesederhanaannya, adalah simbol yang menuturkan kisah tentang kasih sayang, empati, dan kebersamaan. Segelas teh manis di meja berbuka bukan hanya pelepas dahaga, ia adalah simbol perhatian, pesan cinta yang tersirat. Sepotong Kue angka durian yang disodorkan kepada seseorang yang belum dikenal adalah simbol kepercayaan yang menembus sekat sosial. Di situlah takzil menjadi bahasa universal yang melampaui perbedaan. Ia berbicara melalui rasa, melalui hangatnya sentuhan kasih yang tak butuh banyak kata.
Max Weber dalam konsep tindakan sosial memaknai bahwa perilaku manusia tidak lepas dari nilai dan tradisi yang mereka yakini. Tradisi takzil, yang berulang setiap Ramadan, adalah tindakan sosial yang melahirkan makna altruism yang begitu agung. Di balik piring-piring takzil yang tersusun rapi, tersimpan warisan tradisi yang diturunkan lintas generasi. Orang tua mengajak anak-anaknya membagikan takzil di masjid, para pemuda menggalang dana untuk menyediakan makanan berbuka, dan para ibu menyiapkan takzil dengan penuh cinta, semua itu adalah rangkaian tindakan sosial yang menegaskan bahwa tradisi takzil bukan sekadar ritual berbuka, melainkan manifestasi nilai yang merawat kehidupan bersama.
Akhirnya makna Takzil adalah lebih dari sekadar makanan. Ia adalah cermin kemanusiaan yang memantulkan kehangatan solidaritas sosial. Dalam secawan kolak, dalam sebungkus lalampa, dalam segenggam Kacang sambunyi di situlah cinta berkisah tentang empati yang tak berjarak, tentang silaturahmi yang tak berbatas, tentang kasih sayang yang tak bersyarat. Takzil adalah simfoni altruistik di tengah riuh Ramadan, sebuah irama kebaikan yang mengalir lembut di antara sela-sela kehidupan. Sebab dalam berbagi, kita tak sekadar mengisi perut yang kosong, tetapi juga menanam benih kasih sayang di ladang kemanusiaan.
Tinggalkan Balasan