Menguji Visi Kepulauan UNKHAIR, Antara Retorika dan Realitas Kepemimpinan Akademik

Asmar Hi Daud

Oleh: Asmar Hi Daud (Akademisi)

Tahapan penjaringan calon Rektor Universitas Khairun Ternate periode 2025–2029 telah rampung. Enam nama telah diumumkan sebagai bakal calon rektor, dan pada 5 Mei mereka dijadwalkan memaparkan visi-misinya di hadapan Senat Universitas. Sehari setelahnya pada 6 Mei, akan dilakukan pemilihan internal untuk menyaring tiga nama yang akan diajukan ke Kementerian Pendidikan. Pemilihan final bersama Menteri dijadwalkan berlangsung antara 10 hingga 15 Mei, menyesuaikan dengan agenda kementerian.

Yang menarik, dari enam bakal calon terdapat satu figur dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Fakultas yang secara epistemik paling dekat dengan visi besar UNKHAIR: “Maju dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berbasis kepulauan dan kemajemukan pada tahun 2029.” Pertanyaannya, sejauh mana visi tersebut benar-benar membumi dalam arah pembangunan kampus? Apakah ia menjadi pijakan strategis, atau sekadar menjadi slogan normatif yang diulang tanpa substansi?

Jika menilik sejarah kepemimpinan UNKHAIR, jabatan rektor selama ini didominasi oleh tokoh-tokoh dari rumpun ilmu sosial dan humaniora—mulai dari Dr. Rivai Umar (Fakultas Ekonomi), Dr. Gufran A. Ibrahim dan Dr. Ridha Adjam (Fakultas Sastra dan Budaya), hingga Prof Husen Alting (Fakultas Hukum). Belum ada figur yang berasal dari disiplin ilmu yang berkaitan langsung dengan isu-isu kepulauan dan maritim. Akibatnya, meski visi “berbasis kepulauan” terus dikumandangkan, arah kebijakan dan program akademik UNKHAIR belum benar-benar bertumpu pada pendekatan sains kelautan, teknologi adaptif, maupun inovasi sumber daya pesisir.

Kepemimpinan yang cenderung birokratis-administratif telah menjauhkan kampus dari pengembangan IPTEK yang kontekstual. Padahal, misi resmi UNKHAIR sangat jelas. Ada empat komitmen utama yang diusung: 1) pendidikan tinggi bermutu dan profesional; 2) riset untuk pengembangan IPTEK relevan dengan sumber daya kepulauan; 3) pengabdian berbasis inovasi teknologi untuk pembangunan berkelanjutan; dan 4) tata kelola unggul yang mendukung universitas berbasis kepulauan dan kemajemukan. Seluruh misi ini nyaris mustahil terwujud jika kampus terus dikelola oleh figur yang tidak memiliki kepekaan terhadap realitas geografis dan sosial Maluku Utara.

Sebagai Badan Layanan Umum (BLU) sejak 2020, UNKHAIR menghadapi tanggung jawab baru untuk membangun kemandirian finansial. Kampus tak bisa lagi bergantung pada dana rutin pemerintah; ia harus mengembangkan core business yang sesuai dengan kekuatan akademik dan letak geografisnya. Dalam konteks ini, sektor perikanan, terutama budidaya dan inovasi kelautan merupakan peluang emas yang belum digarap secara optimal. UNKHAIR punya potensi besar di bidang ini, namun hanya pemimpin yang paham lanskapnya yang mampu mengangkatnya menjadi strategi institusional.

Peluang ini bahkan membuka ruang sinergi antara kampus dan pemerintah kabupaten/kota di Maluku Utara, melalui kolaborasi riset dan inovasi budidaya di wilayah perairan tawar, payau, maupun laut. Skema ini ideal: kampus menyuplai keahlian dan teknologi, sementara pemerintah daerah menyiapkan lahan serta dukungan APBD. Inilah jalan menuju ekosistem inovasi maritim yang berbasis kepulauan dan berkelanjutan.

Tahun ini, untuk pertama kalinya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan memiliki lima wakil dalam Senat Universitas dengan hak suara. Ini adalah momen penting, bahkan bisa disebut titik balik. Keterwakilan ini memberi posisi tawar yang lebih kuat untuk memperjuangkan calon dari disiplin kelautan, atau minimal menempatkan isu-isu maritim sebagai agenda utama kepemimpinan.

Namun semua harapan itu akan bersia bila Senat Universitas kembali terseret dalam logika kompromi politik jangka pendek dan abai terhadap tanggung jawab sejarahnya. Pemilihan rektor bukanlah arena tawar-menawar kekuasaan antar fakultas, tetapi momentum menentukan arah masa depan universitas. Jika Senat gagal menempatkan integritas akademik di atas kalkulasi pragmatis, maka kita hanya akan mengulang pola kepemimpinan normatif yang menjauhkan UNKHAIR dari misinya sebagai kampus kepulauan. Ini saatnya Senat membuktikan bahwa mereka bukan sekadar kerumunan birokrat akademik, melainkan penjaga arah intelektual dan kompas moral institusi.

UNKHAIR tak boleh terus abai terhadap identitasnya sebagai kampus di jantung wilayah kepulauan. Ia harus menjadi lokomotif pengetahuan yang menyatu dengan realitas geografis, sosial, dan ekologis Maluku Utara. Dan itu hanya mungkin jika kepemimpinan akademiknya dibentuk oleh pemahaman, pengalaman, dan komitmen terhadap dunia kepulauan—bukan semata oleh kecakapan administratif. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini