Sekolah Unggulan: Harapan atau Janji Kosong dari Timur?
Oleh Asmar Hi Daud
Hari Pendidikan Nasional 2025 hadir membawa gema besar: komitmen mencetak generasi emas Indonesia. Lewat Asta Cita dan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2025, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menggagas pembangunan SMA Unggul Garuda di berbagai daerah, sebagai pilar strategis mencetak sumber daya manusia unggul, nasionalis, dan adaptif terhadap tantangan global.
Di Maluku Utara, Gubernur Sherly Tjoandra menyambut cepat instruksi ini dengan merencanakan pembangunan SMA Unggulan di Sofifi, ibu kota provinsi. Langkah ini memantik antusiasme dan harapan baru, terutama di tengah kegelisahan publik soal ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di kawasan timur Indonesia.
Pertanyaan kritis adalah: apakah langkah ini benar-benar menjanjikan masa depan yang lebih baik? Ataukah hanya akan menjadi proyek elitis yang kehilangan ruhnya di tengah jalan?
Pembangunan sekolah unggulan tentu bukan ide baru. Sejak era reformasi, berbagai skema seperti RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) hingga SMK Pusat Keunggulan telah diperkenalkan. Sebagian sukses, sebagian lain gagal karena tak mampu membangun ekosistem pendukung yang kuat. Di Maluku Utara, tantangannya pun tak ringan.
Pertama, keterbatasan fiskal daerah menjadi masalah mendasar. Alokasi APBD yang minim, ditambah ketergantungan pada dana transfer pusat, kerap membuat program ambisius rentan mangkrak di tengah jalan. Kedua, minimnya tenaga pendidik berkualitas, baik dari segi kompetensi maupun distribusinya, menghambat penciptaan lingkungan belajar yang unggul. Ketiga, infrastruktur pendidikan di banyak wilayah masih timpang, bahkan di kota-kota kecil. Keempat, budaya akademik di tingkat SMA belum sepenuhnya tumbuh menjadi atmosfer yang mendorong prestasi dan daya saing.
Sekolah unggulan bukan sekadar soal gedung megah atau nama yang keren. Ia harus menjadi pusat pembelajaran yang hidup, tempat tumbuhnya karakter, semangat riset, dan etos kerja. Ini menuntut ekosistem: kurikulum progresif, guru yang berdedikasi, jejaring kemitraan, serta dukungan sosial yang kuat.
Dalam konteks inilah, peran perguruan tinggi menjadi sangat penting.
Universitas Khairun Ternate, STAIN Ternate, dan sejumlah kampus lainnya harus hadir aktif sebagai mitra strategis. Mereka bisa terlibat dalam pengembangan kurikulum berbasis riset, pelatihan guru, pembinaan akademik, hingga monitoring mutu pembelajaran. Sekolah unggulan harus dikembangkan dengan pendekatan saintifik dan partisipatif, bukan sekadar proyek birokratis yang didesain dari atas.
Jika dianalisis secara SWOT, kita menemukan kekuatan seperti dukungan penuh pemerintah pusat, potensi dana khusus, dan adanya siswa-siswa berbakat di daerah. Ada pula peluang besar untuk mengintegrasikan teknologi pembelajaran dan membangun kemitraan dengan sektor swasta maupun dunia kerja. Namun, di sisi lain, kita juga harus waspada terhadap kelemahan struktural dan ancaman sosial-politik, seperti resistensi terhadap perubahan, politisasi rekrutmen guru, atau hilangnya keberpihakan pada pemerataan.
Karena itu, pembangunan SMA Unggulan di Sofifi bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan taruhan peradaban.
Jika dikerjakan dengan asal-asalan—tanpa visi jangka panjang, tanpa profesionalisme dalam pengelolaan, dan tanpa dukungan dunia akademik maka besar kemungkinan proyek ini hanya akan menjadi monumen ambisi politik. Namun sebaliknya, jika dibangun dengan strategi yang matang, partisipasi luas masyarakat, serta keberpihakan pada meritokrasi dan keadilan pendidikan, maka inilah titik balik untuk mengangkat mutu pendidikan Maluku Utara.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momentum refleksi kolektif. Pendidikan bukan sekadar janji-janji indah di panggung politik. Ia adalah kerja keras, komitmen jangka panjang, dan investasi sosial yang harus dirawat bersama.
Kita tidak bisa membiarkan sekolah unggulan menjadi label tanpa isi. Apalagi di daerah seperti Maluku Utara, di mana setiap intervensi harus menjawab ketimpangan yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Kini semuanya bergantung pada keberanian kita.
Keberanian pemerintah daerah untuk merancang dan mengeksekusi kebijakan secara jujur dan profesional. Keberanian perguruan tinggi untuk keluar dari menara gading dan membumi bersama sekolah-sekolah. Keberanian masyarakat sipil untuk terlibat, mengawasi, dan menuntut kualitas. Dan keberanian kita semua untuk tidak puas hanya dengan janji.
Jawabannya ada di tangan kita:
Sekolah unggulan—harapan nyata, atau janji kosong dari Maluku Utara?
Tinggalkan Balasan