Menemukan Kembali Jiwa yang Hilang Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Rahmat Abd Fatah.

Rahmat Abd Fatah (Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)

 

“Pendidikan sejati dimulai dari kemampuan bertanya dan keberanian berbeda. Ia bukanlah sekadar mesin pengolah nalar, melainkan cahaya yang membentuk kepekaan, menuntun ruhani, serta membimbing jiwa menuju derajat insan yang utuh’. [RaF_Saketa].

Di balik kemegahan statistik dan narasi pembangunan, ada kenyataan lain yang patut direfleksi dan dibijaki dengan baik, bahwa pendidikan di negeri ini masih menanggung luka-luka lama yang belum tersembuhkan. Di banyak sudut tanah air, terutama di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal, akses terhadap pendidikan bukanlah hak yang otomatis hadir, melainkan perjuangan yang meneteskan peluh dan kadang air mata. Di sanalah, anak-anak bangsa bertarung bukan hanya dengan jarak dan kemiskinan, tetapi juga dengan sunyi yang panjang tanpa guru, tanpa gedung sekolah, dan tanpa jaminan masa depan.

Negara hadir, memang. Melalui program Sekolah Garis Depan, pembangunan infrastruktur, dan insentif bagi guru daerah 3T. Namun, kehadiran itu seringkali bersifat administratif, belum menyentuh akar terdalam dari problem pendidikan, ketimpangan dan keterasingan. Di banyak tempat, sekolah hanyalah nama, bukan ruang yang menyemai harapan.

Kurikulum pun tak luput dari kritik. Ia sering kali dirancang di menara gading, jauh dari denyut kebutuhan sosial. Maka, muncullah kesenjangan antara apa yang diajarkan dan apa yang dibutuhkan untuk hidup. Antara capaian pembelajaran dan kebijaksanaan menjalani hidup. Pemerintah mencoba merespon lewat pendidikan karakter, integrasi keterampilan abad ke-21, dan pendekatan berbasis kompetensi. Namun semua itu kerap terjebak dalam wajah teknokratis yang dingin dan prosedural, tanpa ruh.

Ketimpangan pendidikan antarwilayah adalah problem yang paling urgen untuk segera diatasi. Di kota, anak-anak bersaing memperebutkan masa depan dengan gawai dan bimbingan belajar (bimbel), sementara di desa, banyak anak yang masih berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai sekolah. Desentralisasi pendidikan diharapkan menjadi jalan keluar, agar kebijakan bisa bersandar pada konteks lokal, bukan salinan dari naskah pusat yang asing dengan realitas desa.

Kemiskinan tetap menjadi tembok besar yang menjauhkan anak-anak dari cita-cita. Putus sekolah bukan pilihan, tapi keterpaksaan. Maka pemerintah menggulirkan program beasiswa, pendidikan gratis, dan intervensi sosial. Namun sejauh ini, upaya-upaya itu berjalan di atas jalanan yang retak oleh birokrasi yang lamban dan evaluasi yang tak berkesinambungan.

Kita patut menghargai ikhtiar-ikhtiar yang ada. Tapi penghargaan itu tidak boleh membuat kita lalai dari kenyataan bahwa sistem sering kehilangan jiwa. Regulasi ada, namun tanpa keberpihakan hati, ia hanya menjadi dokumen. Program ada, tapi tanpa cinta, ia hanya rutinitas. Yang dibutuhkan bukan hanya sistem yang efisien, tetapi pendidikan yang memiliki jiwa.

Pada kedalaman makna yang hakiki, pendidikan merupakan jalan spiritual menuju peradaban. Ia bukan sekadar sarana pengiriman pengetahuan, melainkan kedaban yang menuntun manusia untuk mengenal dirinya. Walaupun demikian keadaban dan peradaban tidaklah selalu berjalan mulus, sebab dalam kegaduhan zaman modern, pendidikan secara perlahan tercabut dari akar filosofisnya. Gelombang rasionalisasi dan arus empirisisme yang lahir dari tradisi pencerahan Barat turut mengalihkan orientasi pendidikan dari proses pemanusiaan menjadi mesin penghitungan. Apa yang tak dapat diukur dianggap tak bernilai. Apa yang tidak bisa diuangkan dianggap tidak layak.

Dengan demikian, dalam hegemoni kapitalisme global dan derasnya digitalisasi yang melunturkan kesadaran kritis, esensi pendidikan melemah. Ia tidak lagi membentuk manusia berjiwa, melainkan mencetak keterampilan demi pasar. Subjek pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai manusia utuh, melainkan sebagai komponen dalam sistem produksi dan reproduksi kapitalisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1980), pendidikan adalah proses internalisasi dan penanaman adab dalam diri manusia. Dengan demikian, ketika adab tak lagi menjadi orientasi utama, maka ruh pendidikan pun terkikis.

Momentum Hari Pendidikan Nasional menjadi titik evaluasi spiritual dan reflektif untuk memaknai kembali hakikat pendidikan sebagai sarana pemurnian nalar dan penyucian batiniah, bukan sekadar alat untuk mobilitas sosial dan reproduksi kapital semata. Namun kini, sistem pendidikan kita justru lebih sering mendorong manusia menjadi penghafal data dibandingkan sebagai pencari makna. Pemahaman digantikan oleh hafalan. Perenungan digeser oleh tekanan ujian.

Dalam perspektif Pierre Bourdieu (1991), pendidikan merupakan instrumen reproduksi simbolik, yang mewariskan dominasi kelas penguasa, dan bukan alat pembebasan bagi kelompok tertindas. Sekolah dan kampus, dengan demikian, lebih menjadi arena pelanggengan struktur sosial daripada pembebasannya. Lalu, di manakah cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara kini berlabuh. Apa makna “tut wuri handayani” jika guru dan dosen pun dikekang oleh angka-angka dan sistem evaluasi seragam, dengan segala “tetebengek” administrasinya. Pendidikan seharusnya menjadi ruang kontemplatif. Ia adalah madrasah batin yang tidak hanya mengajarkan soal kehidupan dunia, tetapi juga tentang jalan menuju kebaikan akhirat. Ia tak hanya menyentuh ranah sains, namun juga menembus lapisan makna.

Dalam kerangka tasawuf, pendidikan adalah jalan ma’rifat, yang membuka tirai antara manusia dan dirinya. “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Sebuah hikmah sufi yang kekal nilai dan maknanya. Namun kenyataannya, di ruang-ruang kelas hari ini, keheningan spiritual itu telah berkurang. Yang tersisa hanyalah tampilan suara PowerPoint dan desakan untuk menuntaskan silabus. Tiada ruang hening untuk bertanya, merenung, atau bahkan menangis karena dihentak makna.

Teknologi memang memudahkan akses, tetapi tidak selalu memperkaya kesadaran. Ketika teknologi menggantikan dialog batin antara guru dan murid dan atau dosen dan mahasiswa maka ruh pendidikan kehilangan wadah sucinya. Seperti yang dinyatakan oleh Darmaningtyas (2004), bahwa komersialisasi pendidikan telah mentransformasikan relasi belajar menjadi semata transaksi jasa. Murid atau mahasiswa menjadi pelanggan, guru dan atau dosen menjadi penyedia layanan. Ilmu menjadi komoditas transaksional “point” dan “koint”.

Dalam lanskap seperti ini, pendidikan tidak lagi menjadi fondasi peradaban, tetapi hanya memperpanjang nalar kapital. Lulusan yang dianggap sukses adalah mereka yang efisien, bukan yang arif bijaksana. Padahal, puncak pendidikan ialah penciptaan kebudayaan luhur. Ia mengolah nilai, membentuk rasa, dan membangun peradaban batin. Tanpa itu, kebudayaan hanya menjadi kerangka kosong tanpa jiwa. Cita-cita untuk melahirkan manusia paripurna telah direduksi menjadi sekadar pencapaian kompetensi kerja. Padahal kompetensi hanyalah satu aspek dari keberadaan manusia yang lebih luas.

Paulo Freire (1970) pun pernah mengkritik keras sistem pendidikan yang memperlakukan murid atau mahasiswa sebagai tempat penyimpanan data. Konsep pendidikan yang semata “banking” adalah kekerasan epistemologis terhadap jiwa manusia. Dalam konteks Indonesia, tantangan ini menjadi lebih akut. Pendidikan yang gagal membangkitkan kesadaran sejarah dan keberpihakan sosial hanya akan mencetak intelektual yang tercerabut dari realitas bangsanya.

Kita kini menyaksikan manusia-manusia yang mampu berhitung tetapi kurang mampu menghargai, yang pandai berbicara tetapi tak mampu mendengarkan, yang unggul dalam teknik namun kosong dalam etika. Jika realitas ini dibiarkan, maka pendidikan hanya akan melahirkan sosok “homo economicus” yang kehilangan fitrahnya sebagai wakil Tuhan di bumi. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali pendidikan yang membangkitkan nurani. Yang mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu datang dari angka, dan bahwa nilai tak hanya bersumber dari gelar. Dalam perspektif filsafat Islam, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menerangi hati. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutnya sebagai “ilmu yang mengantarkan pada pengenalan terhadap Tuhan.”

Esensi pendidikan terletak pada keikhlasan pendidik dan ketulusan peserta didik. Relasi ini tidak dapat diukur oleh parameter kinerja administratif, namun hanya dapat dirasakan melalui kedalaman spiritual. Kini, saatnya pendidikan diarahkan kembali ke pangkal jalannya, menjadi ruang untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekadar cerdas secara teknis, namun juga hidup dalam jiwa. Mengembalikan ruh pendidikan adalah mengembalikan pendidikan sebagai ruang keadaban, yakni keberanian untuk menegakkan kebenaran, bukan sekadar menjaga sopan santun kosong.

Sebagaimana peradaban-peradaban agung tumbuh dari pusat-pusat keilmuan. Baghdad, Kairo, dan Cordoba, maka bangsa ini pun hanya akan bangkit ketika pendidikan kembali menjadi jantung spiritual kolektif. Refleksi Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar romantisme masa lalu, namun kesadaran akan kehilangan makna terdalam dari pendidikan itu sendiri. Jiwa pendidikan telah lama berkurang jika tak mau menyebutnya hilang, dan kini waktunya untuk kita temukan kembali.

 

Barangkali kita belum mampu mereformasi seluruh sistem, namun kita bisa memulainya dari ruang-ruang kecil, yakni ruang kelas, ruang rumah, ruang ibadah, dan ruang batin kita masing-masing. Sebab pendidikan adalah titipan luhur peradaban. Ia bukan sekadar proyek kalkulasi pembangunan, melainkan panggilan spiritual. Ia bukan pabrik manusia unggul, melainkan taman jiwa yang tumbuh dengan kasih dan kisah yang penuh makna. Dengan demikian, mari kita maknai Hari Pendidikan Nasional bukan hanya sebagai perayaan seremonial, tetapi sebagai ajakan bersama untuk menemukan kembali jiwa pendidikan yang telah lama hilang, agar ia kembali hidup, menyala, dan bermakna. Minimal di hati dan jiwa kita masing-masing [].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini