Menata Jalan Tengah Peradaban; Catatan Ranwal RPJMD Provinsi Maluku Utara 2025–2029
Rahmat Abd Fatah, Dosen Sosiologi Politik dan Pembangunan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Ketua Riset dan MSDM Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Malut.
Dokumen Ranwal RPJMD Provinsi Maluku Utara 2025-2029 ini saya peroleh dari Abang Herman Usman, dan saya pelajari tak sekadar melihat data, tetapi juga berupaya menakar makna. berharap menemukan lebih dari sekadar daftar program, angka-angka pertumbuhan, atau retorika teknokrasi. Saya menyebut dokumen ini sebagai “Ruh Perdaban” karena “katanya” akan menjadi arah masa depan daerah ini.
Dalam semangat discursive democracy, seperti yang dikemukakan oleh Habermas (1984), proses pembangunan tidak hanya dapat bergantung pada narasi teknokratik dan angka-angka pertumbuhan, tetapi juga harus mengakar pada nilai-nilai sosial dan norma kultural yang hidup dalam masyarakat. Keterputusan antara kebijakan dan kenyataan sosial, yang disebut Giddens (1990) sebagai disembedding, menjadi ancaman laten bagi keberlanjutan pembangunan jangka panjang.
Maluku Utara bukan sekadar gugusan pulau dan ladang nikel. Ia adalah simpul peradaban Islam Nusantara yang tercermin dalam Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo—entitas sejarah yang tak hanya memiliki nilai simbolik, tetapi juga menyimpan warisan etika pemerintahan, toleransi, dan harmoni sosial.
Namun dalam dokumen RPJMD ini, budaya hanya disebut dalam kerangka pelestarian. Tidak ada pengakuan terhadap budaya sebagai epistemologi pembangunan. Padahal, legitimasi pembangunan yang kokoh seharusnya didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dan diakui oleh masyarakat (Habermas, 1984). Tanpa fondasi moral dan simbolik tersebut, pembangunan akan kehilangan orientasi etikanya.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, Maluku Utara mencapai 13,73% patut diapresiasi. Namun kita perlu bertanya secara kritis, siapa yang mendapatkan manfaat dari pertumbuhan tersebut? Data menunjukkan bahwa sektor tambang dan energi mendominasi, sementara sektor pertanian, perikanan rakyat, dan UMKM masih stagnan. Fenomena ini menunjukkan terjadinya reproduksi ketimpangan sosial-ekonomi yang dijelaskan Bourdieu (1986) sebagai akumulasi modal ekonomi tanpa distribusi modal sosial dan kultural yang adil. Akibatnya, ketimpangan wilayah dan kelas semakin melebar.
Dalam aspek Keadilan Spasial, dokumen RPJMD secara terbatas mengakui ketimpangan pembangunan antarwilayah (hlm. 147–148). Namun, tidak ada strategi afirmatif yang spesifik bagi karakteristik geografis kepulauan Maluku Utara yang memiliki 395 pulau, di mana hanya 64 yang berpenghuni. David Harvey (1973) menyatakan bahwa keadilan sosial tidak bisa dilepaskan dari keadilan spasial. Jika distribusi sumber daya, infrastruktur, dan layanan publik tidak merata secara spasial, maka keadilan sosial mustahil tercapai. Sayangnya, RPJMD masih terlalu berpijak pada pendekatan universal yang belum adaptif terhadap konteks kepulauan.
Terkait dengan Sofifi sebagai ibu kota administratif, Sofifi seharusnya menjadi pusat pertumbuhan baru. Namun dalam RPJMD ini, Sofifi belum mendapatkan porsi strategis yang layak. Halaman 125 dan 168 mencatat bahwa ASN masih lebih memilih tinggal di Ternate. Tidak ada visi untuk menjadikan Sofifi sebagai kota hijau, pusat pemerintahan digital, atau simpul budaya.
Henri Lefebvre (1968) mengemukakan konsep the right to the city—bahwa ruang kota harus dirancang bukan hanya untuk fungsi administratif, tetapi sebagai ruang sosial yang mencerminkan mimpi kolektif masyarakat. Sofifi memiliki potensi untuk menjadi cermin dari visi pembangunan yang berbasis lokalitas dan partisipasi warga.
Dalam konteks Gender dan perempuan pesisir, di halaman 70–71, dokumen RPJMD menampilkan data Indeks Ketimpangan Gender (IKG) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), namun tanpa strategi afirmatif untuk perempuan nelayan, petani, atau pengrajin dari pulau-pulau. Nancy Fraser (1995) menyatakan bahwa keadilan harus mencakup dua dimensi. yaitu redistribusi ekonomi dan rekognisi kultural. Perempuan adat yang menjaga hutan, laut, dan keluarga bukan hanya bagian dari ekosistem sosial, tetapi juga pelaku penting dalam keberlanjutan. Sayangnya, suara mereka nyaris belum terdengar dalam dokumen ini.
Berangkat dari catan-catan tersebut di atas, saya menawarkan lima rekomendasi. Pertama, Revitalisasi sejarah dan budaya lokal sebagai nilai dasar dalam perencanaan pembangunan. Bukan sekadar festival, tetapi sebagai sumber nilai dan etika publik. Kedua, Transformasi ekonomi dari ekstraktif (tambang) ke maritim berbasis potensi lokal. Yakni ekonomi biru, bioekonomi laut, dan agrowisata. Ketiga, Pengarusutamaan keadilan spasial melalui afirmasi anggaran dan pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Kepulauan (UPPK). Keempat, Redesain Sofifi sebagai pusat pemerintahan modern, kota digital berbasis Islam progresif, dan kota ramah lingkungan.
Kelima, Afirmasi perempuan adat dan pesisir dalam semua sektor pembangunan melalui program berbasis komunitas dan partisipatif. Amartya Sen (1999) menyatakan bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan substantif manusia. Karena itulah Lima poin di atas bertujuan memperluas pilihan dan partisipasi aktif warga dalam menentukan masa depan mereka sendiri.
Dengan demikian, RPJMD bukan sekadar dokumen administratif, melainkan kontrak moral antara negara dan rakyat. Ketika pembangunan hanya dihitung dari kilometer jalan dan angka PDRB, maka ia kehilangan nilai. Namun jika pembangunan diarahkan pada harmoni antara manusia, alam, nilai Agama dan Budaya maka kita sedang menata “jalan tengah peradaban.” Sebuah jalan yang tidak hanya memajukan Maluku Utara dalam angka, tetapi juga memuliakan martabat warganya [].
Tinggalkan Balasan