Menjaga Marwah Konstitusi dan Sejarah, Dilema Pembentukan DOB Sofifi dalam Bingkai Negara Hukum

M.Reza A.Syadik. Foto_Ist

Oleh: (Ketum PB-Formmalut Jabodetabek, M.Reza A.Syadik)

Tarik ulur rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi sebagai kota administratif kembali mencuat di permukaan wacana publik. Sofifi, sejak ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, masih berada dalam status yang timpang, secara konstitusional ia adalah pusat pemerintahan provinsi. Namun, secara administratif, Sofifi bukanlah sebuah kota. Keadaan ini menimbulkan anomali tata kelola yang tidak hanya berdampak pada aspek pelayanan publik, tetapi juga pada kepastian hukum dan identitas politik wilayah.

Di sisi lain, upaya menjadikan Sofifi sebagai DOB Kota memantik pro kontra, terutama dari aspek historis dan kultural. Sofifi adalah bagian integral dari wilayah adat Kesultanan Tidore, salah satu entitas sejarah yang memiliki legitimasi sosial dan kedaulatan kultural tersendiri.

Reaksi kontra terhadap pembentukan DOB Sofifi tidak dapat dilihat semata sebagai resistensi terhadap pembangunan, melainkan sebagai ekspresi kekhawatiran atas mutilasi memori sejarah dan hak-hak tradisional yang telah hidup jauh sebelum republik ini lahir. Situasi ini menghadirkan ruang dilematis, “bagai buah simalakama” jika maju, dikhawatirkan akan meminggirkan otoritas historis Kesultanan Tidore, jika mundur, maka status Sofifi sebagai ibu kota akan terus berada dalam kekosongan administratif yang membatasi pertumbuhan kawasan dan keefektifan fungsi pemerintahan.

Dalam negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, segala kebijakan negara harus berlandaskan pada hukum yang adil dan menghormati hak-hak dasar warga negara, termasuk hak masyarakat adat dan kearifan lokal. Oleh karena itu, pembentukan DOB Sofifi tidak boleh dilakukan secara pragmatis hanya demi efisiensi birokrasi semata, tetapi harus disertai dengan pengakuan terhadap sejarah dan identitas kultural Tidore.

Lebih jauh, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan,“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalny.” Dengan demikian, negara berkewajiban untuk melakukan dialog konstruktif dengan lembaga adat Kesultanan Tidore dan seluruh elemen masyarakat dalam proses perencanaan dan legislasi DOB Sofifi. Hal ini bukan hanya soal prosedural demokrasi, tetapi menyangkut legitimasi konstitusional dan etika publik.

Sofifi dan Amanat UU 46 Tahun 1999 tentu kita mengetahui, bahwa Sofifi telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi melalui Pasal 9 UU No. 46 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa,“Ibu kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi.”

Namun, lebih dari dua dekade sejak ditetapkan, status administratif Sofifi masih bergantung pada Kabupaten Tidore Kepulauan. Kondisi ini membuat fungsi ibu kota provinsi tidak dapat dijalankan secara maksimal, karena otoritas pemerintahan provinsi masih berbagi yurisdiksi dengan pemerintahan kabupaten. Maka, muncul urgensi tata kelola yang lebih efektif dan berdiri sendiri.

Dalam menjawab kebutuhan administratif ini, negara tidak boleh abai pada legitimasi sejarah dan hak tradisional. Oleh karena itu, langkah paling konstitusional dan adil adalah mengintegrasikan aspirasi Kesultanan Tidore sebagai bagian dari proses politik dan hukum pembentukan DOB Sofifi.

Gubernur Sherly yang merupakan perpanjangana tangan dari pemeritah Pusat harus menyiapkan Alternatif yang lebih mendekatkan diri secara Konstitusional yang mana dapat menyatukan Sejarah dan Pemerintahan.

Penulis tegas tidak berada didalam ruang pro dan contra, prinsipnya ada hak teritorial kesultanan tidore artinya Negara sekalipun wajib menghargai hak-hak kesultanan Tidore.

Sebagai penulis dalam melihat dinamika ini, ada sejumlah poin saran strategis yang lebih konstitusional.

1. Bentuk Tim Perumus Bersama, yang terdiri dari pemerintah pusat, Pemprov Maluku Utara, DPRD, tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan Kesultanan Tidore atau sultan Tidore, untuk membahas format kelembagaan baru Sofifi sebagai ibu kota tanpa menghapus jejak sejarahnya.

2. Skema Otonomi Khusus atau Otonomi Khusus Terbatas, di mana Sofifi dijadikan Kota Administratif Khusus di bawah pengawasan langsung provinsi dengan pelibatan aktif peran historis Kesultanan Tidore dalam unsur budaya, simbolik, dan tata ruang.

3. Amendemen UU No. 46 Tahun 1999 secara adil dan aspiratif, yang bukan hanya menetapkan status administratif, tetapi juga memuat prinsip penghormatan terhadap sejarah lokal, selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Sofifi adalah titik temu antara cita-cita modernisasi pemerintahan untuk kemajuan masa depan dan sekaligus penghormatan terhadap sejarah lokal. Negara tidak boleh membangun di atas ingatan yang dikubur, apalagi atas hak-hak adat yang diabaikan. Dalam konteks ini, langkah kebijakan harus bijak, menyatukan hukum nasional dengan kearifan lokal agar Sofifi bukan hanya menjadi kota dalam peta, tetapi juga rumah bersama yang adil bagi semua identitas yang mengakar di dalamnya.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawan.” Ir. Soekarno.

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Ir. Soekarno.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini