Quo Vadis Kekuasaan: Sebuah pencarian Identitas

Oleh: Dr. Musa Marengke

Salah satu dampak yang paling buruk dari kekuasaan kolonialisme yang melanda Dunia Islam adalah munculnya sebuah masyarakat “elit” yang lebih disebut Anak-Anak Tertipu. Maka tidak heran, banyak pengamat berpendapat bahwa sejak awal 1980-an, Islam menderita krisis identitas. Ancaman yang paling berbahaya bukanlah berkuasanya militer asing, tetapi invasi-kultur luar (al-gazw al-fikr) yang mendesak umat Islam untuk tidak percaya kepada koherensi atau validitas warisan umat Islam, terutama warisan paradigma kekuasaan yang dibangun generasi pertama.

Merxisme, komunisme, sekularisme, kapitalisme, atau liberalisme dipandang sebagai gugus-gugus kebudayaan dari peradaban asing yang dirancang untuk meruntuhkan orientasi kekuasaan kaum kelas elit terdidik. Seperti mitos superioritas Eropa telah merekayasa suksesi pemerintahan Nigeria dengan menerapkan identitas Barat seperti kapitalisme, sosialisme, marxisme, dan demokrasi, baik dalam aspek kekuasaan politik, ekonomi, sosial maupun universitas. Bagi Ziauddin Sardar, penerimaan mitos superioritas pemikiran dan praktik kehidupan sekuler (Barat) pada esensinya terletak pada dimensi kemanusiaan yang menjadi “kaca mata” paling canggih untuk seolah-olah melepaskan cara pandang dunia kontemporer yang koruptif, padahal sebenarnya justru menggelincirkan ke jurang penghancuran manusia.

Dekadensi moral dan kesombongan manusia (para pejabat) negara dalam hegemoni sistem penindasan dan ketidakadilan di Indonesia merupakan realitas yang masih mengangah. Bagi Piet Hisbullah Khaidir, indikator sosialnya yang dapat dilihat adalah korupsi, penyingkiran orang tulus dan bijak dalam kanca publik sehingga tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong rakyat, rakyat hanya sebagai pelayan penguasa dan sebagainya. Pertanyaannya adalah kemana orientasi kekuasaan di Indonesia?Kekerasan kekuasaan dalam setiap periode menjadi bagian dari konsekwensi logis yang tidak bisa terhindarkan. antara intrik kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dengan carapandang kolektif dalam beragama menjadi peta krusial yang tidak pernah berkesudahan.

Perilaku birokrat terkesan membangun basis politiknya dengan konglomerat. Karenanya tercipta kekuasaan kapitalistik, yakni pemberian kekuasaan untuk akses ekonomi kapitalisme dan liberalisme birokrat kepada konglomerat, sedangkan konglomerat dengan membayar upeti kepada birokrat.

Perubahan-perubahan tersebut, bagi Achmad Charris Zubair, telah berperan merubah manusia dalam tanggungjawabnya terhadap nilai maupun norma yang selama ini diyakininya, bisa dikatakan bahwa ada tiga pilar utama yang menopang dan cenderung dekat pada penghancuran kemanusiaan. Pertama, Ilmu pengetahuan yang mendorong teknologi, merubah persepsi dan pola tindak yang melahirkan viralisme terhadap perubahan. Kedua, pandangan yang berpaham materialisme dan liberalisme-, ketiga, sistem kapitalisme dalam ekonomi. Ketiga faktor tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penghancuran martabat manuisia. Penghancuran kemanusiaan samadengan meniadakan Tuhan dalam diri manusia dan meniadakan Tuhan sama dengan mematikan manusia sebelum dimatikan.

Gerakan pemikiran Teologi pendidikan muncul di tengah kekuasaan di Indonesia adalah akibat sebagian dari beberapa faktor di atas yang merupakan sebuah gerakan protes sosial dengan pemetaan konsep berkuasa dan dikuasai. Kehadiran istilah berkuasa dan dikuasai versi Masykuri Abdullah, adalah terutama dimasa pra- modern, sangat dipengaruhi oleh ego-sosial-politik dan ego- sosial-budaya yang melilit pandangan ulama. Sejarah peradaban menampilkan pihak yang berkuasa dengan konsep khalifah, amir atau sultan pada posisi kekuasaan mutlak dan kedaulatan yang berimensi Ilahi yang oleh Al-maududi adalah Teo-Demokrasi, kekuasaan yang berada di tangan Tuhan. Gagasan inilah yang membuat pengrekayasaan pihak berkuasa yang kemudian menisbatkan kekuasaan dengan kekuasaan Tuhan. Hal ini disebabkan ulama masa pramodern telah menjustifikasi khalifah atau imamah adalah lembaga politik yang dibentuk berdasarkan wahyu.

Kekuasaan kemudian dikembalikan pada posisi sentral dalam pemberdayaan kemanusiaan. Teologi kekuasaan menghadirkan perlunya kesadaran aplikatif atas konsep berkuasa dan dikuasai. Karena konsep ini bagi Din Syamsudin, telah menjadi salah satu isu penting yang mendorong lahirnya teori-teori mengenai masyarakat ideal yang perlu tercipta dari hubungan tersebut. Dalam pemikiran politik Islam juga menampilkan dua spektrum hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Di satu sisi pandangan yang cenderung mendukung pihak yang berkuasa dan pada sisi lain pandangan yang membela yang dikuasai.

​​Pemilahan kuasa dan dikuasai merupakan pencarian kebenaran Islam Identitas dan Islam Kebenaran. Keduanya terpolarisasi pada dialektika politik kekuasaan dimana tema-tema kemanusiaan menjadi dilema dalam superioritas tanpa batas sehingga identitas teologi kemanusiaan dalam teologi kekuasaan menjadi ancaman serius padahal kemanusiaan, bukan berada di pihak berkuasa atau dikuasai melainkan berada dalam bentangan kedua konsep tersebut. Teologi kekuasaan menjadikan kekuasaan politik sebagai instrumen penguatan cita- cita agama.

​Kekuasaan dan agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting dan saling memerlukan. Kekuasaan berfungsi menjembatani konsep keuniversalan agama dan agama berada di posisi kekuasaan sebagai pewarna, dan pembentuk identitas posisi kekuasaan. Keterkaitan antara kekuasaan dan agama merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarahnya. Sebagai kekuatan moral kekuasaan, teologi kekuasan juga menghadirkan pemetaan-pemetaan istilah Islam Identitas dan Islam Kebenaran. Abdolkarim Soroush, menegaskan bahwa gagasan Islam identitas dan Islam kebenaran bukan bermaksud membentuk agama identitas (religion of identity), tetapi agama kebenaran (religion of truth). Sikap beragama yang terakhir ini senantiasa mendorong adanya internalisasi pendidikan kekuasaan untuk mencari kebenaran dari manapun asalnya dan dalam konteks apapun. Beragama berarti mencari posisi kebenaran dan bukan monopoli kebenaran. Akan tetapi bila melakukan monopoli kebenaran berarti mengalami krisis identitas. Teologi kekuasaan hendak menciptakan pendidikan kekuasaan yang demokratis-manusiawi sehingga pemangku kekuasaan dapat menghadirkan tauhid (agama) sebagai keyakinan kebenaran. Islam identitas merupakan kedok identitas cultural dan respons terhadap apa yang disebut “krisis identitas”. Sementara Islam kebenaran adalah sumber kebenaran yang menunjukkan jalan keselamatan, keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Wallahu’alambissawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini