Warisan Mappinawang Untuk Perlindungan Anak
Oleh: M. Ghufran H. Kordi K.
Pengamat Sosial
Mappinawang—akrab dipanggil Mappi—menghembuskan napas terakhir dan kembali ke pangkuan ilahi pada 28 Januari 2025. Selesai sudah kerja-kerja pengabdianya untuk kemanusiaan dan demokrasi. Namun, Mappi meninggalkan jejak dan warisan (legacy) yang tidak hanya diingat, tetapi memberi warna pada, terutama dunia aktivis dan advokat.
Saya mengenal dan cukup dekat dengan Kak Mappi, demikian kami sering memanggilnya, karena selama dua periode (2006-2009 dan 2009-2012), saya menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, dimana Mappinawang adalah ketuanya. Mappi menggantikan Profesor Dr Mansyur Ramli sebagai Ketua LPA Sulawesi Selatan. Sebelumnya, Mappinawang telah menjadi pengurus LPA Sulawesi Selatan sejak didirikan tahun 1998, dan dia termasuk salah satu deklarator pendirian LPA Sulawesi Selatan bersama Asmin Amin, Christina Yosep, Fadiah Machmud, Selle KS Dalle, dan Mulyadi Prayitno, untuk menyebut beberapa nama.
Kontribusi Mappi sangat besar pada pemikiran dan gerakan perlindungan anak di Indonesia, terutama Sulawesi Selatan. Sebagai seorang yang berlatar belakang pendidikan ilmu hukum di perguruan tinggi, dan pernah mengenyam pendidikan di pesantren, Mappi menggunakan ilmunya untuk mengubah sesuatu yang dianggap merugikan masyarakat, apalagi masyarakat kecil yang mengalami diskriminasi dan tertindas.
Aktivis-advokat
Menjelang akhir orde baru hingga era reformasi, Mappinawang adalah salah satu aktivis populer organisasi nonpemerintah (ornop)—atau dikenal sebagai LSM (lembaga swadaya masyarakat). Pasalnya Mappi adalah aktivis dan advokat di LBH (lembaga bantuan hukum) Makassar, dan menjabat sebagai direktur tahun 1997-2004. Tahun 2001-2002 Mappi juga menjabat sebagai caretaker Ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Kemudian pernah menjadi anggota dan Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Provinsi Sulawesi Selatan.
Mappi yang memutuskan untuk menjadi aktivis dan advokat, apalagi bergabung di LBH tentu ingin melakukan sesuatu. Mappi juga sudah tentu siap dengan segala risiko dan konsekuensinya. Orang-orang LBH memang dikenal sebagai aktivis pro demokrasi dan HAM (hak asasi manusia), yang di masa orde baru, bahkan sampai sekarang, merupakan sasaran aparat dan preman. LBH tidak hanya membela kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan marginalisasi penguasa, tetapi juga sangat kritis terhadap penguasa.
Sebagai advokat yang berlatar belakang LBH, Mappi selalu mengingatkan bantuan hukum berbasis struktural, yakni konsep dan praktik bantuan hukum yang bertujuan untuk mengubah struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tidak adil, terutama terhadap kelompok rentan dan marginal. Bantuan hukum struktural tidak hanya berorientasi pada pembelaan di pengadilan, tetapi juga pada perubahan struktural.
Mengadvokasi untuk Membangun Sistem
Bantuan hukum berbasis struktural selalu disampaikan Mappi pada berbagai kesempatan dan kegiatan. Ketika menjabat sebagai Ketua LPA Sulawesi Selatan selama enam tahun, Mappi selalu mengingatkan agar penanganan kasus-kasus anak dan perempuan, tidak sekadar menyelesaikan kasus tersebut dan setelah itu menunggu kasus baru, tetapi dia mengingatkan bagaimana penanganan kasus itu berdampak pada perubahan yang lebih luas.
Menurutnya, penyediaan layanan dan penanganan kasus adalah pekerjaan dan tugas negara/pemerintah, yang dilakukan oleh pekerja sosial di lapangan. Sementara sejak didirikan hingga dia menjadi ketua, LPA Sulawesi Selatan menangani berbagai kasus anak, tidak hanya di Makassar dan Sulawesi Selatan, tetapi juga lintas nasional dan internasional. Puluhan kali LPA Sulawesi Selatan terlibat dalam penanganan korban trafiking lintas negara.
Dengan begitu, menurut Mappi, penanganan kasus yang dilakukan oleh LPA Sulawesi Selatan harus ditujukan untuk membangun sistem layanan, dan sistem itu harus berada di pemerintah, bukan di lembaga yang bergerak dalam advokasi. Karena itu, ketika menjabat sebagai Sekretaris LPA Sulawesi Selatan, saya menulis puluhan artikel di media massa terkait dengan hak dan perlindungan anak, karena artikel-artikel itu adalah bagian dari advokasi.
Pada 2008 Pemerintah Kota Makassar, melalui Dinas Sosial, menyusun perda yang kemudian disahkan menjadi Perda Kota Makassar tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen. Begitu muncul, Mappi meminta saya mengumpulkan aktivis anak dan perempuan untuk mengadvokasi proses penyusunan perda tersebut. Mappi mengingatkan agar anak-anak yang menjadi anak jalanan, gelandangan, pengemis, atau pengamen tidak dikriminalisasi di dalam sebuah kebijakan yang bernama perda. Mappi berargumen, kita mungkin terganggu dengan anak-anak tersebut di lampu merah dan di jalanan, tapi anak-anak itu tidak bersalah apa-apa, mereka menjadi seperti itu karena pembangunan dan kebijakan yang menghasilkan mereka.
Menurut Mappi, perda seperti itu, adalah produk hukum yang ketika diimplementasikan, maka akan terjadi penangkapan terhadap anak dengan pola yang sudah terjadi sebelumnya, yaitu kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh aparat negara. Padahal negara melalui berbagai kebijakannya yang kemudian melahirkan anak-anak itu menjadi anak jalanan, gelandangan, pengemis, atau pengamen.
Bagi Mappi, kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap anak dan perempuan sangat berbahaya dibanding kekerasan yang dilakukan oleh orangtua atau guru. Tentu kita tidak terima kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua dan guru di sekolah, tapi kekerasan seperti itu dapat ditangani bila negara mempunyai pendekatan perlindungan anak yang tepat untuk pencegahan. Sementara negara atau pemerintah adalah pihak yang berkewajiban melindungi anak-anak dari berbagai ancaman, karena itu jika ada kebijakan yang dibuat dan mengancam anak-anak, maka menurut Mappi, harus diadvokasi karena negara tidak boleh melakukan kriminalisasi terhadap warga negara, apalagi anak-anak.
Advokasi Harus Fleksibel
Selama menjabat sebagai Ketua LPA Sulawesi Selatan, Mappi selalu mengajarkan dan mengingatkan agar penanganan kasus-kasus anak dan advokasi harus dilakukan sesuai dengan situasi dan momen, tidak melulu frontal. Pada beberapa kasus, Mappi menyarakan Tria Amelia Tristiana yang menjabat sebagai wakilnya di LPA Sulawesi Selatan untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak yang berkonflik terkait anak, ataupun melakukan lobi-lobi dengan orang-orang atau pejabat yang dianggap dapat menyelesaikan suatu kasus. Sebagai psikolog, Ibu Tria begitu kami memangilnya mempunyai pengetahuan dan ketrampilan praktis yang dapat diandalkan untuk berkomunikasi dengan orang-orang bermasalah atau pejabat tertentu.
Selama menjadi pengurus dan memimpin LPA Sulawesi Selatan, Mappi berkontribusi pada perubahan kebijakan dan penguatan kelembagaan perlindungan anak. Gerakan perlindungan anak semakin menguat karena pemerintah mulai memasukkannya ke dalam kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Mappi adalah aktivis dan seorang pejuang untuk demokrasi dan keadilan, karena itu dia meninggalkan warisan untuk kemanusiaan.