Perempuan dan Politik: Representasi atau Reproduksi Patriarki?

Darastita Umawaitina.

Penulis: Darastita Umawaitina (Penggiat Sahabat Nulis)

Di era globalisasi seperti sekarang perempuan Indonesia tak lagi terkurung dalam kegelapan intelektual. Yang dulunya perempuan tidak diperkenankan untuk menempuh pendidikan dan hanya diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan domestik seperti halnya mengurus rumah, memasak dan mengurus anak. Tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukanlah sekedar menjadi pelengkap isi rumah tangga. Namun, harus bisa membicarakan arah kemajuan bangsanya.

Berbicara tentang politik tidak hanya dilakukan oleh kalangan politisi, pemerintah atau para birokrat saja. Namun, semua lapisan masyarakat di setiap sudut tongkrongan. Kita bisa mendengar di setiap persimpangan jalan, orang-orang memperdebatkan pasangan calon mana yang terbaik dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Representasi perempuan dalam bidang politik dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Terutama di Indonesia sendiri sebagian besar perempuan masih terikat dengan latar belakang, budaya patriarki, perbedaan gender. Meskipun sampai saat ini selalu ada upaya untuk memperbaiki pola pikir tradisional yang masih dianut oleh sebagian orang. Namun, ada hal mendasar yang membuat perempuan begitu sulit untuk masuk dalam dunia perpolitikan. Ialah budaya patriarki, yang masih sangat kental di Indonesia saat ini. Persepsi yang masih ada di nalar masyarakat adalah bahwa dunia politik hanya untuk laki-laki dan tidaklah pantas bagi perempuan untuk terlibat dalam hal ini.

Tak kalah bahayanya adalah efek dari stigma ini. Ketika perempuan meyakini bahwa ini sudah menjadi hukum alam yang tak dapat diubah. Hal ini bisa memengaruhi kepercayaan diri mereka. Juga dalam situasi tertentu seperti persaingan dalam perebutan posisi kepemimpinan, memberikan rasa pesimis akan kemampuan untuk bersaing secara setara. Di sisi lain, masih ada pandangan yang mempersoalkan kepemimpinan perempuan yang pada akhirnya menghambat terciptanya ruang yang adil bagi semua.

Padahal negara Indonesia adalah negara demokrasi dan Pancasila. Setiap individu dalam masyarakat memiliki kebebasan dan hak tersendiri untuk mengungkapkan dirinya melakukan segala tindakan sosial dengan tetap berpegang pada hukum yang berlaku. Memilih maupun mencalonkan untuk dipilih dalam masyarakat, itu semua bagian dari demokrasi.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana terpatri dalam sila kelima. Bahwasanya tidak dapat dibenarkan adanya pengkultusan, diskriminasi, dan ketimpangan berdasarkan jenis kelamin, status, atau golongan. Semuanya dianggap sebagai entitas yang sama dan sejatinya diperlakukan adil. Keadilan dalam ruang politik, ekonomi, maupun sosial masyarakat.

Menurut Dr. Hidayat dari Ditjen HAM kementerian Hukum dan HAM, pendidikan politik sangat penting untuk masyarakat mengetahui politik secara umum. Hal itu dapat dilaksanakan sejak para remaja sudah memasuki usia 17 tahun atau setingkat pendidikan Perguruan tinggi.

Dengan ini dapat meningkatkan kesadaran dan hak mereka untuk memberikan akses perempuan agar dapat berpartisipasi setara dalam pembangunan sehingga potensi dan kontribusi perempuan dapat dioptimalkan dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, pendidikan, dan kepemimpinan.

Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam politik tidak boleh berhenti pada aspek representasi simbolik semata. Perlunya upaya serius untuk memastikan bahwa partisipasi mereka juga membawa agenda transformasi sosial termasuk dalam melawan dominasi nilai-nilai patriarki yang masih mengakar dalam struktur partai dan kebijakan publik.

Hanya dengan bekal pengetahuan kritis, perempuan dapat memainkan peran politik yang tidak hanya sekedar mengulang sistem lama. Melainkan memberikan kewenangan penuh terhadap perempuan dalam mengambil peran di masyarakat dan dunia politik.