Jaksa Didesak Ungkap Aliran Anggaran Rp 817 Miliar di DPRD Maluku Utara

Ilustrasi.

SOFIFI-pojoklima, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengelola anggaran yang sangat fantastis sepanjang 2019-2023.

Anggaran fantastis ini terbagi dalam dua mekanisme utama, yakni pengadaan melalui penyedia jasa dan pelaksanaan swakelola.

Selama menjabat, Setwan DPRD Maluku Utara ini mengelola anggaran pengadaan barang dan jasa mencapai Rp817,31 miliar.

Data tersebut berdasarkan hasil rekapitulasi Rencana Umum Pengadaan (RUP) tahun 2019, 2020, 2022 dan 2023. Puncak alokasi anggaran terjadi di tahun 2020 senilai Rp374,25 miliar, melonjak hampir dua kali lipat dibanding tahun 2019 senilai Rp202,37 miliar. Sementara tahun 2022 tercatat Rp117,04 miliar, dan tahun 2023 senilai Rp123,64 miliar.

Terjadi lonjakan di 2020 disebabkan masuknya sejumlah kegiatan besar, seperti rehabilitasi gedung DPRD, pengadaan meubelair ruang pimpinan, videotron ruang paripurna, serta belanja perjalanan dinas dan bimbingan teknis anggota DPRD.

‎Selain melalui tender penyedia jasa, sebagian besar kegiatan juga dilaksanakan dengan mekanisme swakelola, terutama untuk operasional kelembagaan, seperti tunjangan anggota DPRD, biaya listrik dan internet, honor kebersihan, publikasi, perjalanan dinas, sosialisasi perda, hingga dana reses anggota DPRD.

Praktisi hukum Maluku Utara, Hendra Kariga, menilai penggunaan anggaran Setwan perlu dikaji dari sisi dasar hukum dan kepatutan.

‎“Hak keuangan dan protokoler anggota DPRD memang diatur dalam keputusan Mendagri tahun 2017. Tapi perlu didalami apakah semua tunjangan dan kegiatan yang dianggarkan itu memiliki landasan hukum yang sah,” beber Hendra, Selasa (4/11).

‎Ia menyebut, secara regulasi kegiatan tersebut bisa dibenarkan, besaran anggaran tetap harus diukur dengan azas kepatutan dan kewajaran.

‎“Kalau jumlahnya tidak wajar, bisa dikategorikan pemborosan keuangan negara. Itu nanti dibuktikan melalui audit BPK atau BPKP,” katanya.

‎Seluruh proses pengelolaan anggaran Setwan DPRD, kata Hendra, melibatkan sejumlah pejabat teknis, dianataranya Kuasa Pengguna Anggaran (Sekwan), bendahara penerimaan dan pengeluaran, hingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

‎“Kejaksaan punya kewenangan mendalami proses itu ada penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran hukum,” tandasnya.

Baru-baru ini, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sedang penyeledikan dugaan tindak pidana korupsi anggaran operasional dan rumah tangga anggota DPRD Maluku Utara senilai Rp 60 juta yang diterima selama periode 2019-2024.

Dalam penyelidikan ini, sejumlah pihak telah dimintai keterangan termasuk Ketua DPRD Maluku Utara, Iqbal Ruray, Wakil Ketua Kuntu Daud serta Bendahara Sekretariat Rusmala Abdurahman.