Biaya Kontrak Rumah Anggota DPRD Malut Ada Unsur Manipulasi

Dr. Hendra Karianga SH.,MH, Foto|Istimewa

pojoklima, Biaya kontrak/sewa rumah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Utara dinilai janggal, karena hampir semua anggota DPRD periode 2019-2024 menempati rumah pribadi. “Itu namanya manipulasi,” kata Dr. Hendra Karianga SH.,MH, kepada jurnalis Media Grup, Kamis (4/12) .

Menurut pakar hukum keuangan negara Universitas Khairun Ternate itu, jika ada anggaran kontrak/sewa rumah bagi 45 anggota DPRD tersebut, mestinya benar-benar dibelanjakan. Setidaknya ada fakta jika para wakil rakyat itu menyewa rumah. “Di mana rumah itu dikontrak?” kata Hendra bertanya.

Seperti diketahui, setiap bulan masing-masing anggota dan unsur pimpinan DPRD Malut, menerima tunjangan sewa/kontrak rumah dengan nilai bervariasi. Ketua DPRD keciprat Rp 30.000.000 (Tiga Puluh Juta), disusul masing-masing Wakil Ketua Rp 28.000.000 (Dua Puluh Delapan Juta), dan anggota lainnya kebagian Rp 25.000.000 (Dua Puluh Lima Juta).

Alokasi biaya sewa/kontrak rumah tersebut tercantum dalam Daftar Pengguna Anggaran (DPA) 2019-2024, dan tidak mengalami perubahan pada DPA 2025. Ini diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor: 44 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Malut.

Atas dasar Pergub itu, dalam setahun anggota DPRD menguras biaya kontrak/sewa rumah senilai Rp 13.668.000.000.00,- (Tiga Belas Miliar Enam Ratus Enam Puluh Delapan Juta). Sedangkan dalam lima tahun wakil rakyat menguras total biaya kontrak/sewa rumah Rp 148.340.000.000 (Seratus Empat Puluh Delapan Miliar Tiga Ratus Empat Puluh Juta). Padahal, faktanya hampir semua anggota DPRD menempati rumah pribadi, bukan sewa rumah.

Selain kontrak rumah, Hendra yang juga praktisi hukum ini menyoal tunjangan komunikasi dan sejumlah komponen lain yang ia anggap sudah di luar azas kepatutan dan kewajaran.

“Di situ menurut saya sudah di luar azas kepatutan dan kewajaran. Itu tidak boleh,” singkat Hendra, sembari mengisahkan di masa tugasnya sebagai anggota DPRD Malut beberapa tahun lalu ia dan anggota deprov lainnya pernah mengembalikan biaya tunjangan komunikasi.

Fakta seputar tunjangan dan lain-lain melanggar azas kepatutan dan kewajaran, lanjut Hendra, berarti ada dugaan terjadi kerugian negara. Jika ada kerugian negara tentu ada unsur melawan hukum. “Unsur melawan hukum itulah korupsi,”tegasnya.

Ia mengaku meski Pergub yang mengatur tentang tunjangan anggota DPRD sudah dievaluasi, tapi tidak menjamin hal itu bersih. Sebab, yang dilihat apakah Pergub yang mengatur alokasi anggaran fantastis di tengah covid-19 dan kesulitan ekonomi itu melawan hukum atau sebaliknya.

“Jadi misalnya biaya operasional setiap anggota Rp 60 juta apakah wajar di tengah covid-19? Kalau itu dianggarkan terus sampai saat ini maka Maluku Utara mengalami disparitas pembangunan dan ketertinggalan. Sebab, korupsi bukan ditentukan oleh mekanisme. Korupsi ditentukan apakah pada saat perencanaan itu ada pelanggaran, ada kolusi dan nepotisme atau tidak,”jelasnya.

Dengan begitu, penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Tinggi sudah tepat, bahkan penyidik sudah mengantongi bukti yang cukup. (mg-red)