Maluku Utara Bukan Tentang Identitas, Tetapi Tentang Kapasitas?

M Irsyad PojokLima
Foto Dr. Rahmat Abd. Fatah Akademisi UMMU Maluku Utara

Tanggapan Dr. Rahmat Abd. Fatah atas pernyataan Beni Laos

Walaupun pernyataan tersebut, terang bersifat politis dan menghindari identitasnya sendiri sebagai Calon Gubernur yang berbeda secara agama. Justru semakin menegaskan “identitasnya”. Harmoni keberagaman dari kegiatan – kegiatan sosial yang dilakukan Beny Laos selama ini, sebenarnya sudah cukup untuk menciptakan kepercayaan masyarakat di tengah keberagaman.

Menebalkan Kapasitas dan mengabaikan identitas pada pernyataan tersebut, justru menipiskan kepercayaan dan menebalkan kecurigaan akan “arogansi” kapasitas dan kemudian mengabaikan nilai sejarah, agama serta budaya yang menjadi identitas Maluku Utara sebagai dasar nilai untuk membangun Maluku Utara.

Pernyataan, “Bukan tentang identitas tetapi tentang kapasitas”. dapat dilihat sebagai penyederhanaan yang berlebihan dari hubungan kompleks antara identitas dan kapasitas dalam konteks Maluku Utara. penting untuk mengakui bahwa identitas adalah elemen kunci dalam pembangunan sosial dan ekonomi.

Identitas lokal memberikan landasan yang kuat untuk membangun kapasitas, karena mencakup nilai-nilai norma, dan ikatan sosial yang esensial untuk keberhasilan jangka panjang. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kapasitas tanpa mempertimbangkan identitas setempat kemungkinan besar akan menghadapi tantangan dalam hal relevansi dan keberlanjutan.

Amartya Sen (Ekonom dan Filsuf) dalam bukunya “Identity and Violence: The Illusion of Destiny” menekankan pentingnya identitas dalam menentukan pilihan dan perilaku manusia. Sen berargumen bahwa identitas bukan hanya tentang “siapa kita”, tetapi juga membentuk “apa yang kita lakukan”.

Dalam konteks ini, kapasitas tidak bisa dibangun dengan mengabaikan identitas, karena identitas adalah bagian integral dari pengambilan keputusan dan tindakan manusia. Identitas memberikan rasa arah dan tujuan yang mendasari pengembangan kapasitas individu dan komunitas.

Stuart Hall (Teoretikus Budaya) mengemukakan bahwa identitas adalah proses yang terus-menerus dibangun dan dinegosiasikan dalam konteks sosial dan budaya. Bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tetap atau diberikan, tetapi sesuatu yang dibentuk melalui interaksi sosial dan budaya.

Dengan demikian, mengabaikan identitas dalam pembangunan kapasitas dapat mengasingkan masyarakat dari proses pembangunan itu sendiri, karena mereka tidak melihat diri mereka tercermin dalam kebijakan atau program yang dijalankan.

Clifford Geertz (Antropolog) dalam karya-karyanya tentang antropologi budaya menekankan pentingnya memahami “makna lokal” dalam studi budaya dan pembangunan. Menurut Geertz, memahami dan menghargai identitas lokal adalah kunci untuk merancang kebijakan yang efektif dan relevan.

Kapasitas untuk berkembang dan berubah, menurut Geertz, hanya dapat ditingkatkan ketika kebijakan dan program pembangunan sesuai dengan nilai-nilai dan identitas masyarakat setempat.

Pertanyaannya adalah, apakah selama ini yang dilakukan oleh Beni Laos, politik identitas atau identitas politik?

Identitas politik itu berbeda dengan politik identitas. Identitas politik berkaitan dengan dasar nilai yang bersifat holistik. Sementara politik identitas sebatas strategi untuk memperoleh keuntungan politik elektoral semata, politik identitas digunakan sebagai alat manipulatif untuk tujuan politik jangka pendek.

Kritik ini relevan dalam konteks pemakaian simbol agama atau budaya oleh politisi untuk meraih dukungan, seperti pakaian, ucapan, kegiatan sosial yang bernuansa agama tertentu, karena bisa berarti memanipulasi perasaan komunitas untuk keuntungan politik tanpa komitmen nyata terhadap nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang lebih mendasar.

Chantal Mouffe dalam bukunya “On the Political” membedakan antara politik (politics) sebagai kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan dalam konteks demokrasi liberal dan “the political” sebagai ranah di mana identitas dan perbedaan terbentuk. Mouffe berpendapat bahwa identitas politik melibatkan komitmen pada nilai-nilai tertentu dan pembentukan subjek politik yang didasarkan pada ideologi atau prinsip-prinsip bersama. Di sisi lain, politik identitas digunakan sebagai strategi menggalang dukungan dengan mengandalkan perbedaan identitas, seperti agama atau etnis. Menurut Mouffe, politik identitas dapat memperkuat polarisasi karena menekankan perbedaan dan eksklusi, sedangkan identitas politik bertujuan untuk membangun solidaritas berdasarkan nilai-nilai bersama.

Benedict Anderson Dalam bukunya “Imagined Communities”, menyebutkan identitas politik digunakan untuk hasil dari konstruksi sosial dan narasi yang dibentuk sehingga menyatukan masyarakat dalam komunitas yang dibayangkan.

Sementara, politik identitas sering kali memanfaatkan simbol-simbol budaya dan agama untuk membangkitkan emosi dan memobilisasi dukungan dalam konteks politik elektoral, sehingga menimbulkan fragmentasi dalam masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini