“Politik Air Mata”dan “Air Mata Politik”
Dr. Soleman Saidi, S.Pd., M.Si. (Dosen Matematika Unkhair dan Sekum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Malut)
Tulisan ini sengaja penulis suguhkan karena melihat dan mengamati fenomena masyarakat yang begitu antusias menyambut pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota di Maluku Utara.
Bukan lagi hal yang memalukan atau memilukan ketika para kandidat, tim sukses dan masyarakat sebagai pendukung masing-masing kandidat mempertontonkan adegan drama kehidupan politik yang begitu menyita perhatian publik di Maluku Utara.
Pujian, hujatan, hinaan, tangisan alias cengengesan, kekerasan baik langsung maupun tidak langsung selalu kita temui di mana-mana, bahkan dipertontonkan secara fulgar ke hadapan publik melalui medsos media lainnya. Penulis sebagai akademisi seperti teriris sembilu menyaksikan adegan demi adegan yang dipertontonkan para kontestan, timses dan masyarakat sebagai pendukung masing-masing calon. Seyogyanya kita ingin menyaksikan fenomena pilkada dengan riang gembira, santun dan berkarakter mulia, penuh dengan suasana kesejukan dan kedamaian, sehingga kualitas pemimpin yang dilahirkan dari pendidikan politik yang bermartabat kemudian akan termanifestasi pada kehidupan masyarakat sebagai pemilih yang cerdas dan bijaksana.
Fenomena lain yang tidak kalah penting yang dipertontonkan oleh para calon pemimpin, timses dan pendukungnya adalah fenomena “Air Mata Politik dan Politik Air Mata”, yang menurut pandangan penulis adalah bagian dari strategi politik yang sengaja atau tidak disengaja telah dimainkan untuk menarik simpati masyakatan di daerah pemilihannya. “Politik air mata” dan “air mata politik” adalah dua istilah yang sering muncul dalam perbincangan politik, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Istilah-istilah ini mencerminkan praktik politik yang mengandalkan emosi dan penderitaan rakyat untuk meraih dukungan.
Dalam konteks Pilkada di Maluku Utara, keduanya bisa menggambarkan dinamika yang terjadi dalam perebutan kekuasaan di wilayah tersebut. Maka, jangan heran akhir-akhir ini di Maluku Utara kita dipertontonkan dengan berbagai adegan cengengesan dengan berbagai dalih atau argumen untuk menarik simpati pemilih,…Siokooo…
Politik Air mata dan Air Mata Politik
“Politik Air Mata” merujuk pada strategi yang digunakan oleh calon, partai politik, timses dan para pendukung calon yang berusaha meraih dukungan dengan mengundang simpati publik melalui narasi penderitaan, kesulitan, atau ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Dalam PilkadaMaluku Utara, “politik air mata” ini sering muncul dalam berbagai bentuk yaitu:
Pertama, Eksploitasi Kemiskinan dan Ketidakadilan Sosial” yang dalam beberapa kasus, calon pemimpin (gubernur/bupati/walikota) mungkin akan menonjolkan kesulitan hidup rakyat Maluku Utara, seperti kemiskinan, kurangnya fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk atau infrastruktur yang tidak memadai untuk mendapatkan simpati dan dukungan. Cerita-cerita ini sering dipakai untuk membangun citra calon sebagai pejuang bagi rakyat kecil.
Kedua, Penggunaan Sentimen Lokal atau Agama. Maluku Utara adalah wilayah yang cukup heterogen secara sosial dan budaya, dengan banyak suku dan agama. Para Kandidat, timses dan pendukungnya bisa saja memainkan sentimen etnis atau agama untuk meraih dukungan, menggunakan cerita-cerita tentang ketidakadilan yang dialami oleh kelompok tertentu, baik itu etnis, agama, atau komunitas lokal, sebagai alat untuk memobilisasi massa.
Ketiga, Kampanye Penuh Emosi yakni kampanye yang mengutamakan aspek emosional, seperti mengajak masyarakat untuk menangis bersama atau berbagi penderitaan, bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk menggugah empati publik.
Namun, ini juga bisa dianggap sebagai manipulasi jika tidak disertai dengan solusi konkret dan realistis terhadap masalah yang dihadapi. Karena menangis belum tentu mendatangkan solusi untuk problem Maluku Utara yang begitu kompleks.
Sumpah Pemuda dan Martabat Demokrasi pada Pilkada 2024
Tetapi yang tidak kalah menarik adalah, “Air MataPolitik“ yang dalam hal ini lebih mengacu pada realitas bahwa sering kali para kandidat atau politisi atau aktor politik sendiri bisa “menggunakan air mata” atau penderitaan mereka untuk meraih posisi atau keuntungan.
Dalam Pilkada Maluku Utara kita semua melihat dengan mata kepala tentang fenomena air mata ini. Air mata politik dalam hal ini bisa mencakup: Pertama, Manipulasi Emosi oleh Calon Pemimpin (sebagaifigur sentral), dimana para calon kepala daerah yang memanfaatkan kisah pribadi atau penderitaan mereka untuk mendapatkan dukungan bisa dianggap menjalankan airmata politik.
Misalnya, mereka mungkin menceritakan masa lalu yang penuh kesulitan atau perjuangan yang membuat mereka “lebih layak” memimpin, walaupun tidak selalu mencerminkan kemampuan atau kompetensi mereka sebagai pemimpin. Kedua: Kampanye Penuh Janji, yakni dalam beberapa situasi, calon kepala daerah atau politisi akan berjanji kepada rakyat untuk mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi yang mereka alami, namun pada kenyataannya, sering kali janji-janji tersebut tidak terpenuhi.
Ini menjadi fenomena yang mengarah pada “air mata politik” ketika harapan yang diberikan kepada masyarakat ternyata hanya berujung pada kekecewaan dan bahkan menimbulkan masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks spiritual keagamaan, “Air Mata”, menurut Imam al-Ghazali, bukan hanya sekadar ekspresi fisik dari perasaan, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang sangat penting. Air mata bisa menjadi tanda penyesalan yang tulus, kerinduan yang mendalam kepada Allah, atau bentuk pembersihan jiwa yang terjadi dalam proses spiritual seseorang.
Sebagai seorang sufi, al-Ghazali menekankan pentingnya menangis sebagai bentuk pengakuan akan kelemahan diri dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, beliau juga mengingatkan agar air mata ini tidak digunakan untuk mencari simpati duniawi atau sebagai alat untuk meraih keuntungan pribadi, melainkan sebagai ungkapan dari ketulusan hati dalam beribadah dan mencari keridhaan-Nya.
Begitu juga dengan pendapat Ali bin Abi Thalib bahwa air mata, memiliki dimensi spiritual yang dalam. Bahkan, Ali bin Abi Thalib tidak hanya melihat air mata sebagai ekspresi emosional biasa, tetapi sebagai tanda dari kondisi batin yang mendalam—baik itu penyesalan, kecintaan kepada Allah, rasa takut terhadap-Nya, empati terhadap ketidakadilan, maupun kekuatan batin untuk menghadapi cobaan hidup. Bagi Ali, air mata adalah manifestasi dari kesadaran spiritual, dan mampu menunjukkan sejauh mana seseorang dapat menyucikan hatinya, memperbaiki hubungan dengan Tuhan, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran di dunia ini.
Dua tokoh Dunia yang sangat berpengaruh yang tingkat spiritual dan kedekatan mereka dengan Sang Khalik sangat kuat, sengaja penulis kutip untuk menyadarkan kita bahwa fenomena “Air Mata” yang terjadi pada Pilkada di Maluku Utara berbanding terbalik dengan apa yang dimaksudkan oleh kedua tokoh berpengaruh ini yakni Imal Al-Gazali dan Imam Ali Bin Abi Thalib.
Olehnya itu, mencermati dinamika pilkada di Maluku Utara, sebagai sebuah provinsi yang memiliki keragaman etnis, budaya, dan agama, menjadi medan yang sangat subur bagi politik berbasis identitas dan emosional. “Politik air mata” dan “airmata politik” seringkali mewarnai Pilkada di wilayah ini, dimana perjuangan untuk memimpin sering kali dikaitkan dengan perjuangan mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Bahkan, jika kita cermati debat terbuka pertama calon gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara telah memunculkan sekian banyak janji, salah satunya adalah menghidupkan budaya dan adat seatoran melalui empat kesultanan yakni Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo.
Namun, fenomena ini juga dapat memunculkan masalah-masalah serius dalam pemerintahan jika tidak diimbangi dengan program-program pembangunan yang nyata dan efektif. Pilkada yang hanya mengandalkan emosi bisa berpotensi menciptakan pemimpin yang lebih fokus pada pencitraan daripada pelaksanaan kebijakan yang konstruktif.
Maka, tantangan yang paling besar dalam Pilkada Maluku Utara, salah satunya adalah bagaimana memisahkan politik yang berbasis pada emosi dari politik yang berbasis pada solusi konkret dan pembangunan yang berkelanjutan.
Masyarakat yang sudah lama terpinggirkan perlu diberikan ruang untuk berbicara dan berharap pada pemimpin yang dapat menjawab kebutuhan nyata mereka, bukan sekadar calon yang pandai memainkan narasi penderitaan. Dan…pada akhirnya, masyarakat harus bisa bijak dalam memilih pemimpin yang tidak hanya menawarkan janji atau simpati melalui aksi “Politik Air Mata dan Air Mata Politik, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mewujudkan perubahan nyata dan mengatasi masalah-masalah struktural yang ada.
Politik air mata atau air mata politik tidak seharusnya menjadi strategi utama dalam meraih kekuasaan, tetapi harus lebih kepada usaha bersama atau kolaborasi untuk membangun daerah dan mengangkat kualitas hidup masyarakat Maluku Utara. **
Tinggalkan Balasan