Membumikan Islam Progresif, Mewuudkan Politik Santun pada Pilkada 2024

M Irsyad PojokLima
Dr. Makbul A.H Din

Oleh : Makbul A.H Din (Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Ternate & UMMU Malut)

Agama tidak sekedar simbol belaka. Ia identik juga dengan kekuatan supra natural, dogmatis dan magig, aspek ritual dan sosial, serta kitab suci. Sentuhan wilayah agama ini wajib dipraktikkan oleh orang-orang muslim dalam kehidupan meraka. Misalnya seorang muslim wajib menjalankan perintah Islam dalam wujud ritual yang implementasinya pada wilayah sosial. Ada tiga inti ajaran Islam yaitu aqidah (tauhid), ibadah, dan muamalah. Ketiganya terintegrasi-interkoneksi dalam mengatur tata kehidupan umat Islam.

Kita tidak bisa mengatakan politik itu wilayah sosial—agama itu wilayah doktrinal. Ini keliru, karena dalam Islam juga mengatur persoalan politik yang disebut assiyasah, dimana Islam mengatur konsep dan praktik politik, dengan dasar pada al-Qur’an dan Hadis.
Islam dalam dimensi aqidah atau keyakinan titik singgungnya pada persoalan ketuhanan. Islam mengenal kata tauhid yang bermakna Esa, Tunggal, atau Satu”. Inti dari tauhid, meminjam pandangan Nurcholis Madjid adalah nagasi dan konfirmasi. Nagasi itu peniadaan seperti kata “la ilaha” artinya tidak ada Tuhan. Manusia Muslim dilarang mempertuhankan benda lain selain Allah SWT. Kata “Illa Allah” adalah konfirmasi atau peneguhan.

Meneguhkan keyakinan bahwa hanya Allah SWT satu-satunya Tuhan yang disembah dan dimintai pertolongan. Makna lebih luas dari tauhid adalah pembebasan manusia dari belenggu ideologi, budaya, ekonomi, sosial dan politik. Disebutkan terakhir yaitu aspek politik lagi ramai dan hangat dibincangkan. Orang Islam yang bertauhid memiliki komitmen keagamaan yang kuat, tidak mudah goyah oleh tantangan dan cobaan apapun. Tidak mudah goyah oleh sogokan atau politik uang—karena yang menyogok dan disogok dua-dua berdosa dan masuk neraka (hadit nabi). Kekuatan tauhid diyakini dapat membangun kepribadian orang Islam terhadap pilihan-pilihan politik cerdas dan politik akal sehat.

Prinsip tauhid akan mendorong manusia muslim menata dan membangun kehidupan dalam orde sosial yang etis, damai, dan berkeadilan. Namun, faktanya terutama pada kepentingan wilayah politik-kekuasaan tahun 2024 sering menyeret umat Islam menonjolkan perbedaan yang rigit. Belakangan ini, interaksi dan komunikasi umat Islam dengan sesama dipenuhi unsur curiganisasi (curiga) antara yang ikut perintah Islam dan yang menolaknya. Padahal konteks dan kontekstualisasinya sudah jelas dimana posisi agama Islam membimbing, mengayom dan memberikan patokan pada ummatnya dalam menentukan calon pemimpin, tapi banyak orang Islam yang memilih jalan lain, mereka menentang al-Qur’an dan hadist dengan berbagai dalih.

Mereka tak hirau ancaman Allah SWT bagi hambaNya yang tidak taat. Ketidak-taatan kita pada ajaran Islam berakibat dosa dan kehancuran. Lihat sejarah Islam di Cordoba Spanyol dan Bagdad Irak, sebagai contoh nyata ketidaktaatan kita pada perintah Allah—masih banyak contoh lain sepanjang peradaban umat manusia. Ironinya, kita sudah tidak taat, diikuti prilaku yang saling menjatuhkan.
Ketika kita saling kritik dan saling menuduh terutama sesama umat Islam, kita yakini orang lain tertawa mengejak dan menghina atas prilaku sawang (kaget) danata dan golojo (rakus) pada sogokan atau politik uang. Para ulama yang bersuara keras lewat mimbar jumat, lewat postingan medsos tentang ajaran agama, dengan tujuan menyadarkan umat Islam akan posisi perintah dan larangan Tuhan.

Namun faktanya kita masih terus saling bakumalawang (berdebat) melalui kritik yang tidak komunikatif. Dalam posisi begini kita kehilangan keteladanan. Semua orang saling melempar pernyataan penuh kontroversi. Ingat nasehat orang bijak, kalau tidak penting lebih baik diam dan mengikuti perintah Allah SWT, karena diam itu emas-menurut Broery Pesolima, bahkan diam juga ibadah.

Memang diakui, realitas di dunia Islam masih ada kelompok Islam yang seakan kontras antara ritual dan sosial. Hal ini disebabkan oleh persepsi atau pandangan terhadap ajaran Islam yang beragam. Semoga kita memilih pandangan yang mengikuti pertintah Tuhan dan kita sadar tetap bersatu menentukan pilihan politik cerdas, jauhkan konflik kepentingan yang radikal dan merusak. Kita bukan Islam khawarij. Sebagian besar umat Islam adalah ahlussunnah wal jamaah—umat Islam yang cintai damai, lembut ajarannya, jauh dari kekerasan baik fisik maupun kata-kata.

Kita menganut pandangan wasathiyatul Islam (Islam moderat). Kita tidak boleh menjeneralisasi tindakan negatif pada semua orang Islam. Islam memberikan pedoman agar kita jangan mudah memberi label. Kedepankan praduga tak bersalah. Gunakan tabayyun dalam membaca realitas. Mereka yang punya ororitas dan kewenangan lakukan pembinaan bukan pembinasaan, selalu mengajak bukan mengejek. Jadilah manusia muslim yang kuat tauhidnya, guna merealisasikan ritualisme dalam kehidupan empirical.

Konsepsi tauhid memberikan jalan keluar (solution) bagi kita. Amin Rais, menyebut prinsip hidup manusia tauhid adalah mereka yang mempunyai komitmen hidup hanya kepada Allah SWT, selain itu ditolak. Hidupnya bersikap progresif. Tujuan dan visinya jelas, yaitu ibadah, kerja keras, hidup dan mati hanya mendapatkan ridho dari Tuhan.

Prinsip inilah yang menjadi kekuatan umat Islam pada awal dakwah Islam. Kekuatan konsep Islam progresif dalam membangunn dimensi hidup termasuk dimensi kehidupan politik.
Nilai-nilai Islam yang berpusat pada prinsip tauhid sebagai Islam progresif diyakini membentuk kepribadian setiap orang yang mencintai Tuhan yang wujudnya pada mencintai sesama manusia. Prinsip manusia tauhid berimplementasi pada dimensi politik santun dan terbuka dalam persaingan dengan terus mentaati perintah Allah SWT. Karakteristik politik seperti ini dikenal dengan istilah politik adiluhung. Nuansa politik yang mengedepankan etika dan moral yang bersumber dari nilai Islam.

Nilai politik adiluhung merupakan politik yang fair, politik yang jauh dari money politik, atau politik bagi-bagi duit. Menurut teman saya seorang dosen FTIK IAIN Ternate “Gunakan politik akal sehat jangan gunakan politik akal bulus”–(hehehe, wk,wk,wk).
Dengan demikian, Islam progresif dapat diwujudkan dalam hidup kita yang dinamis jangan statis. Jika ada salah paham, sikap dan tindakan yang keliru, cepat diperbaiki. Kita semua harus melakukan pembacaan tekstual dan kontekstual sebelum mengeluarkan pernyataan (pesan). Dalam prinsip komunikasi dikenal istilah irreversible, artinya sekali anda mengirim pesan, anda tidak dapat mengendalikan, apalagi menghilangkan efek pesan tersebut.

Untuk itu, berhati-hati menyampaikan pesan dalam berkomunikasi karena efeknya tidak bisa dirubah, meskipun kita berupaya meralatnya. Seperti judul lagu “terlanjur disakiti”.
Kekuasaan hendaknya digunakan untuk kemaslahan umat, bukan kemudharatan. Kekuasaan untuk memperoleh ridho Allah SWT. Para ulama, umara dan cendekiawan muslim, bahkan para politisi hendaknya berbicara lembut, mendidik dan membina umat melalui “Politik Perintah Tuhan, bukan Politik Malawang Tuhan”, atau membangkang. Kesadaran pada ajaran agama Adalah mutlak sebagai wujud rasa syukur atas anugerah dalam hidup kita. Aamiin. Semoga bermanfaat..!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini