Mahasiswa dan Warung Kopi, Tiga Perspektif dalam Kebisingan Subuh

Alfandy Usman.

Oleh :Alfandy Usman, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Sekelompok pemuda menyebut dirinya Mahasiswa berkumpul di warung kopi pada larut malam yang menggantungkan harap pada pagi. Asap rokok melingkar pelan dengan suguhan secangkir gelas berisi kopi. Di sudut ruang kecil itu, diskusi meletup tak terencana, seperti api kecil yang menjilat kayu basah. Topik berganti cepat dari pembangunan ke penggusuran, sejarah ke cita-cita. Hingga seseorang menggetarkan meja dan meneriakkan sajak revolusi:

“Jika penebangan dilakukan dengan dalil pembangunan, maka keputusan harus ditumbangkan dengan ribuan suara yang bergema pada jalan”

Pada diskusi yang berjalan hingga kuamandang azan subuh, langit mulai berubah warna, suasana hening sejenak, lalu kelompok itu terpecah menjadi tiga. Masing-masing memegang kebenarannya sendiri dengan perspektif yang berbeda.

Perspektif pertama, idealistik sang romantik jalanan

Kami yang membawa api jalanan. Bagi kami yang duduk di sisi kiri meja, revolusi bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan janji yang belum tuntas. Kami percaya bahwa mahasiswa adalah bara yang harus menyala, bukan hanya dalam ruang kelas, tetapi di jalanan, di depan gedung-gedung kekuasaan, kami percaya suara mahasiswa adalah gema rakyat. Malam ini meja ini dipenuhi kalimat yang tak akan selesai, perdebatan tentang eksploitasi lahan, penggusuran pasar tradisional hingga penghilangan ruang publik, saling tumpang tindih dengan kenangan tentang aksi long march pada semester lalu. Salah satu dari kami berdiri dengan mata merah karena kantuk, tetapi suara nyaring penuh semangat.

Kami sangat percaya bahwa mahasiswa bukan hanya pewaris ilmu, tetapi juga penjaga nurani bangsa. “Kita bukan hanya kuliah untuk lulus,” ucap salah satu dari mereka, dengan penuh harap tanah rakyat tidak dijual murah atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sejarah bukan mata kuliah wajib, tapi warisan yang harus dihidupkan kembali, kami romantis, karena jatuh cinta pada kemungkinan perubahan. Percayalah satu poster, satu orasi, satu gerakan tangan di tengah demonstrasi bisa membuka mata satu pejabat, menggugah satu warga, atau menciptakan satu percikan harapan baru.

Warung kopi adalah posko perjuangan dadakan, tempat menggambar spanduk dalam imajinasi dan membakar semangat dalam kopi hitam yang pekat, serta ruang strategis sebelum turun ke jalan, tempat meramu strategi dan menyusun orasi. Setiap puisi adalah manifesto, setiap poster adalah kitab kecil perlawanan.

Perspektif kedua, realistik sang penganalis makna

Diantara teks dan aksi, kami datang bukan karena terpanggil oleh gema sajak perlawanan, atau karena tertarik pada peta konflik ruang kota. Datangnya karena warung kopi punya colokan, Wi-Fi cukup stabil, suasana tenang untuk membaca jurnal ilmiah. Kopi bukan simbol perlawanan, melainkan stimulan begadang menghadapi literature review. Kami menganggap nilai dan pencapaian akademik sebagai prioritas utama, perubahan sosial itu penting tapi harus ditopang pemahaman teoritis yang kuat dan struktur logika yang rapi. “Harus revisi Bab 3 dulu, habis itu baru mikirin hidup,” kata salah satu dari mereka. Keramaian membuka dokumen dengan nama Proposal Skripsi FINAL FIX FIX FIX SEMOGA ACC. Bukan karena kami sombong, tetapi karena merasa dunia sosial seringkali melelahkan dan penuh distraksi, diskusi itu penting. Namun, kadang terlalu liar, kita perlu kerangka berpikir tanpa bermaksud merendahkan, berbicara tanpa referensi, semangat hanya jadi amarah kosong.

Kami mahasiswa yang tidak selalu terlibat di permukaan, tetapi menjadi penghubung antara ide besar dan kenyataan kecil. Jika di tengah diskusi ada yang bicara soal ketimpangan struktural, kami akan menimpali dengan cerita dari kampung halaman tentang bagaimana warga miskin harus antri air bersih, atau bagaimana ibu-ibu di kelurahan mengelola koperasi kecil untuk bertahan. Kita bicara pembangunan besar-besaran, tapi tetangga bahkan belum pernah peggang Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mungkin kami tidak membawa teori, tidak pula membawa nyala api perlawanan, yang kami bawa adalah kesadaran sosial membumi. tidak menyulut perubahan besar, tetapi percakapan yang membuat orang merasa didengar, dimengerti dan diingatkan bahwa perjuangan bukan hanya tentang melawan. Kami mungkin tidak mengguncang dunia hari ini. Namun dengan tulisan akan mengguncang dunia akademik esok hari.

Perspektif ketiga, apatis sang pelintas bising

Suasana batin, tekanan generasi dan kejujuran eksistensi alami, kami tidak datang untuk revolusi atau riset, kami datang ngopi dan mengeluh sebentar. Dengan handphone yang miring, headset di telinga serta Instagram story bertagar “healing tipis-tipis” kami hadir di tengah percakapan besar tanpa benar-benar ikut terlibat. Bukan apatis, juga bukan aktivis. mahasiswa yang berada di persimpangan antara dunia akademik yang membebani dan kenyataan sosial membingungkan. Hadirnya disini bukan untuk mengubah sistem, tapi menyelamatkan diri dari kejenuhan sesaat. Tidak sepenuhnya acuh, kadang ikut tertawa, angguk-angguk, bahkan mengutip satu dua kalimat dari diskusi untuk diunggah ke caption Instagram dan perhatian kami lebih tertuju pada layar, notifikasi serta kopi yang sudah dingin. Mungkin kami tidak penting dalam diskusi kalian. Tapi kami adalah mayoritas yang diam, kami adalah wajah-wajah tanpa suara di meja, pengisi absen tanpa pendapat di ruangan. Kami adalah mereka yang tidak dicatat sejarah, tetapi tetap ikut berjalan, kami adalah cermin realitas mayoritas mahasiswa, hari ini lelah tapi tetap mencoba hadir dalam narasi besar sebagai representasi diam yang berusaha bertahan bukan karena tak punya gagasan. Dunia terlalu cepat dan kami terlalu lelah untuk mengejarnya.

 

Tidak semua orang bisa lantang. Tidak semua orang kuat berdiri paling depan, sebagian dari kami hanya ingin bertahan, menghibur diri, melepas lelah agar besok masih bisa bangun dan kuliah, tidak tenggelam sepenuhnya oleh beban akademik, keluarga, utang semester dan rasa cemas tanpa nama yang terus menekan dada. Jika itu terdengar seperti bentuk keacuhan, mungkin dunia tak memberi kami cukup ruang untuk peduli tanpa ikut terbakar.

 

Jangan remehkan kami yang terlihat sibuk dengan gawai, game dan media sosial, mungkin sedang mencari beasiswa lebih suka diam, bisa saja pernah kecewa terlalu dalam oleh janji-janji yang tak pernah ditepati. Kami bukan pejuang juga bukan pecundang, mencoba hadir meski tak tahu harus berbuat apa. Ini semacam bentuk perlawanan paling jujur dari generasi yang tumbuh di antara tuntutan dan kebingungan, tidak datang mengubah dunia. Tetapi diri tidak hancur terlalu cepat.

Saat matahari mulai menyapa dan diskusi hampir berakhir, mereka tetap duduk tenang. Mengangguk kepada yang idealis, menghargai yang akademis, memeluk yang lelah. Mereka tahu, tidak semua bisa turun di jalan. Tidak semua harus menulis jurnal. Tetapi semua bisa menjadi bagian dari perubahan dengan caranya masing-masing. Mereka tidak ingin jadi tokoh. Mereka hanya ingin hadir dengan utuh mendengarkan, menyambung cerita dan menjaga diskusi tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.

“Kami bukan musuh perjuangan, kami hanya memilih jalur lain, jalur sunyi lewat jurnal”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini