Pilkada 2024, Mencari Pemimpin yang Pintar Merasa, Bukan Merasa Pintar
Oleh: Dr. Makbul A.H Din (Dosen Ilmu Komunikasi di IAIN Ternate dan UMMU Malut)
Penulis terinspirasi pernyataan salah seorang dosen di IAIN Ternate saat berorasi menyampaikan pandangannya terhadap pemimpin kampus. Ia menyebutkan, menjadi pemimpin jangan merasa pintar, tapi kita harus pintar merasa. Jika ditelaah, dua frasa antara merasa pintar dan pintar merasa memiliki makna yang berbeda. Merasa pintar cenderung membanggakan kepintarannya untuk mengelabui orang lain. Ia arogan, sulit
mendengarkan saran dan pendapat publik. Indikasi lain dari marasa pintar adalah “biking diri top” (istilah aktivis) yang bermakna merasa paling hebat.
Kekuasaan baginya melegitimasi diskriminasi, tindakannya sewenang-wenang, cepat memberi sanksi, menjatuhkan bawahan tanpa alasan yang jelas. Pemberian jabatan pada seseorang didasarkan seleranya, like and dislike, bukan kompetensi dan profesionalitas.
Frasa merasa pintar bertendensi destruktif. Berlawanan dengan pintar merasa yang lebih elegen, lembut dan penuh persaudaraan, namun tegas dalam sikap. Pemimpin yang pintar merasa dapat menggunakan aturan
normatif sebagai acuan. Tipe pemimpin seperti ini yang memiliki hati nurani dalam merasakan kehidupan orang lain. Kebijakannya menyentuh rakyat kecil. Pintar merasa berindikasi positif, dalam hal memberikan kecerdasan dan pencerahan pada publik.
Gaya kepemimpinan tipe ini disebut servert leadership atau kepemimpinan melayani dengan karakteristik utama adalah empati, peduli dan merangkul. Gaya ini juga bersinergi dengan tipe kepemimpinan kharismatik dengan daya tarik pribadinya yang kuat,
berkomunikasi yang baik serta kemampuan dalam memberi motivasi, memberi teladan, komunikatif dan mau mendengarkan, mengapresiasi kerja tim dan transparan.
Pilkada 2024 menjadi momentum bagi ummat guna menemukan sosok pemimpin ideal, utamanya yang pintar merasa. Tahun 2024 akan digelarnya pilkada provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Bercermin pada beberapa pilkada sebelumnya, proses tahapan dari deklarasi, pendaftaran calon, sampai pada waktu kampanye,
suasana politik mulai memanas.
Publik disuguhi berbagai bahasa politik melalui spanduk dan baliho dengan kata-kata bombastis misalnya “anda memasuki kawasan si A, atau “Kami Ternate Utara Pilih si B” atau juga “Kami memilih anak kampung untuk diahi Ternate.” Sementara di bagian timur
sebuah spanduk bertuliskan “Ini torang pe wali kota”. Pada pilkada gubernur galut, di antaranya “Turun Selamatkan Maluku Utara, pilihlah yang cantik, MK-Bisa yang terbaik”, dan lainnya. Dinamika komunikasi politik semacam ini sah-sah saja sepanjang tidak bernada tendensius, menghujat bahkan menghina.
Walaupun kita lebih mudah dan cepat mengatasnamakan satu kelurahan, satu kecamatan, atau juga satu kota/kabupaten demi memenuhi hasrat dan kepentingan segelintir orang saja. Sama halnya dengan calon pemimpin dengan sejumlah pernyataan dalam berbagai dinamika.
Pernyataan politisi dengan gaya komunikasi masing-masing di atas sangat menarik bagi dinamika politik lokal. Ada calon pemimpin yang pernyataannya sejuk, tidak menghujat dan memfitnah. Gaya komunikasinya adem ayem, lembut penuh perasaan. Ia hanya menawarkan programnya jika terpilih. Sementara calon pemimpin lainnya selain menawarkan program, juga dengan lantang menyuarakan kritik keras yang tendensius jika tidak dibuktikan data dan fakta akurat.
Saat menyampaikan kritik seakan ia lupa ketika dulu ia berkuasa. Ibarat telunjuk ke depan, tiga jari menunjuk dirinya. Politisi sering memanfaatkan budaya masyarakat yang mudah lupa pada realitas destruktif yang pernah ada dalam diri seseorang ketika ia memimpin. Mengeritik dan dikeritik hal biasa dalam demokrasi, yang parah itu adalah kritik cenderung memperolok-olok.
Keduanya memiliki nilai 11:12 atau mungkin juga yang dikritik lebih baik dari mengeritik. Al-Qur’an mengingatkan kita “jangan saling
memperolok-olok, karena bisa jadi yang diperolok-olok lebih baik dari yang mengolok-olok”. Kita tidak boleh pandai mengeritik, tidak pandai muhasabah (introspeksi diri).
Menggunakan paradigma kritisnya mazhab Frankfur, yang memelopori kritik terhadap sistem kekuasaan dan struktur sosial. Kelemahannya, kritik dijadikan ideologi yaitu sebagai ide, gagasan dan keyakinan terhadap problem politik-kekuasaan, problem sosial budaya dan agama. Tak heran, seluruh aktivitas dipenuhi unsur kritik namun tanpa solusi.
Dalam posisi ini, Hubermas menawarkan “tindakan komunikatif” sebagai solusi dari problematika yang dihadapi masyarakat. Baginya, kritik boleh saja, asalkan disertai dialogis untuk mencari solusi atas masalah yang ada.
Di Pilkada November 2024 ini ada kecenderungan calon pemimpin
saling kritik tanpa solusi. Niatnya menjatuhkan yang lain. Mereka yang mengiritik tidak menyadari kekurangan dan kelemahan pada posisi yang sama saat menjadi pemimpin. Sikap politisi yang menyerang lawan dengan
tujuan negatif, menjadi trend politisi kita. Dalam perspektif agama, kita menjadi orang yang lupa dan takabur.
Pemimpin yang lupa diri, mengeluarkan pernyataan kontroversi jelas terbawa dalam gaya kepemimpinannya disaat ia berkuasa. Ada dua kategori perilaku politisi di Malut yaitu “Politisi Ginoti dan politisi Dubo-Dubo”. Ginoti merupakan politisi yang tidak punya prinsip, selalu berpindah-pindah partai, mencari yang menguntungkan dirinya. Sementara politisi Dubo-dubo diawal sangat berjasa mendorong calon pemimpin tersebut, kemudian merasa tidak menguntung dirinya lagi maka ada upaya menjatuhkan (mendubo) dengan mencari kesalahan pemimpin tersebut.
Dorongan keinginan dan hasrat berkuasa sering orang tidak sadar bersikap dan berkata yang menunjukkan kebenaran berbuat, guna menarik perhatian publik. Pada setiap pilkada, ada saja kandidat yang berjanji membangun ini dan itu, diikuti sumpah atas nama Tuhan. Sebuah pernyataan yang tidak pernah terpikirkan dampaknya. Pernyataan janji dan sumpah itu sebuah bahasa yang lepas dari mulut seseorang.
Bahasa memiliki makna, tidak netral. Ia bersifat sewenang-wenang, ganda dan majemuk. Bahasa dapat mencerminkan kepentingan pihak yang menggunakannya. Ia
merupakan sebuah ekspresi diri terhadap hasrat sebagai sebuah fenomena. Bahasa dengan jargon-jargon eufimisme, metafora, puffery (bahasa bombastis) dan labeling (penjulukan) bisa membentuk kesadaran tertentu sesuai dengan yang dikehendaki si komunikator (Mulyana, 2013).
Dalam konteks bahasa janji atas nama Tuhan merupakan bahasa puffery (bombastis) yang ingin ditunjukkan oleh komunikator bahwa dirinya layak dan representatif dipilih dan siap menjadi pemimpin. Ada kehawatiran jangan-jangan bahasa bombastik semacam ini hanya sebuah rekayasa kesadaran politisi yang menawarkan kata-kata lewat iklan politik bahwa mereka terbaik tanpa cacat moral, untuk itu mereka layak.
Publik tahu, sebuah pernyataan merupakan ekspresi diri calon pemimpin melalui pernyataan yang hebat, berani, paling bersih tanpa dosa. Hakekatnya ia ingin menjual kata-kata manis dan berusaha meyakinkan publik akan integritas, komitmen dan konsisten jika terpilih. Dalam konteks merekrut masa mencari perhatian sah-sah saja, karena politik itu janji, tanpa janji politik kurang bermakna.
Namun, apakah publik terpengaruh dengan pernyataan ini? Jawabannya belum tentu. Indikator pesan kampanye politik itu berhasil jika dilihat dari respon publik, dan respon tersebut ditentukan saat pemungutan dan perhitungan suara. Dalam komunikasi politik, dimana politik itu terintegrasi dengan budaya
masyarakat. Kita mengenal budaya maskulinitas yang mengarah pada
bagaimana seorang laki-laki hidup dalam masyarakat plural dengan prilaku, pikiran dan sikapnya yang gentlemen terutama dalam kehidupan politik.
Budaya maskulinitas menghendaki seorang pemimpin laki-laki yang parlente, gagah, berani, kuat, cerdas dan punya perhatian terhadap kemajuan Maluku Utara melalui pembangunan yang prospektif. Hal ini tentu berbeda dengan budaya feminis yang dimaknai sebagai gerakan perempuan dalam dunia politik yang memperjuangkan kesetaraan di segala bidang sebagai wujud budaya tandingan dengan gerakan maskulinitas.
Dalam perspektif psikologi, budaya feminis dilekatkan pada perempuan yang dalam tindakannya didasarkan pada dorongan emosional daripada kemampuan berfikir logis. Mereka lebih menekankan kecerdasan
emosional, empati dan konektivitas sosial. Dengan kata lain, perbedaan fisik dan biolofis maka perempuan lebih mengedepankan sifat-sifat feminine.
Hal uni jelas terbawa pada tipe kepemimpinan perempuan yang diindikasikan lembut dalam berkomunikasi, menggunakan hati atau rasa dalam aktivitas kepemimpinannya. Asumsinya bahwa orang Maluku Utara berbudaya maskulin, menginginkan pemimpin laki-laki yang gagah perkasa, bukan wanita cantik tanpa gagasan, hanya menempel dan memanfaatkan popularitas suaminya, yang didukung dengan kekayaan yang besar.
Cara merebut kepemimpinan politik juga diduga menggunakan uang meraih dan menarik simpati. Tanpa uang yang bersangkutan tidak bisa berbuat banyak. Padahal, Maluku Utara sebagai negeri para raja membutuhkan pemimpin laki-laki yang berani, tegas pada perubahan dan perbaikan, tentu dengan sikap baik, pro-publik, punya etika dan moralitas yang menjadi panutan publik.
Pemimpin yang kuat dalam menghadapi tekanan publik, tidak goyah oleh rayuan apapun termasuk harta dan wanita yang terus mengitari peradaban dunia sempai sekarang ini. Akhlak dan moral pemimpin menjadi sumber utama menggerakkan pembangunan daerah. Sumber akhlak adalah agama. Tidak ada ajaran agama yang stagnan, melainkan dinamis membawa perubahan dan
perbaikan hidup.
Di sinilah urgensi pemimpin yang pintar merasa. Pemimpin yang menggunakan nurani untuk melihat realitas masyarakat yang dipimpinnya. Tegas dalam tindakan, namun kasih sayangnya menyentuh masyarakat banyak. Perhatiannya diikuti kebijakan pembangunan yang memihak publik. Interpretasi terhadap frasa “Merasa Pintar” dan “Pintar Merasa” bagi seorang pemimpin sebagai sebuah pembelajaran politik konstruktif bagi kita semua. Kurangi sikap merasa pintar dan kedepankan pintar merasa, sehingga banyak orang terwadahi oleh perilaku sang pemimpin. Semoga bermanfaat…!
Tinggalkan Balasan