Agus Sebut MK tidak Berkewenangan Tangani Pelanggaran Adminitrasi Pilkada
TERNATE-pl.com, Salah satu praktisi hukum Maluku Utara, Agus Salim R Tampilang, menyebut Mahkamah Konsitusi (MK) tidak berwenang menangani dugaan pelanggaran admitrasi pada pemihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif jika sebelumnya belum pernah ditangani secara berjenjang. Menurutnya, lembaga yang berwenang menangani pelanggaran TSM pemilu yakni bawaslu. “Kalau tidak pernah dilakukan upaya di bawaslu, itu bukan kewenangan mahkamah,” ungkap Agus, kepada media ini, Jumat (6/12).
Ia menyebut dalam peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 9 tahun 2020 tentang tata cara penanganan pelanggaran adminitrasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan Wakil Wali Kota, yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif hanyalah bawaslu , bukan lembaga lain.
Untuk itu bagi kontestan pemilu kada (Pilkada) di Maluku Utara, baik Gubernur, Bupati, atau Wali kota yang beranggapan dalam pilkada tahun 2024 ini ada pelanggaran TSM silahan ajukan perkara tersebut secara berjenjang jika tidak MK tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Sebab, merujuk pada beberapa putusan yurisprudensi secara limitative, MK selalu membatasi diri hanya menyelesaikan sengketa hasil Pemilu Kada bukan seperti dugaan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat TSM.
Namun, jika berdasarkan pada putusan MK No.97/PUU-XI/2012, kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada merupakan kewenangan badan peradilan khusus. Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan salah satu kewenangan MK yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan tidak berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran dan kecurangan bersifat TSM karena itu merupakan legal policy atau hak pembentuk undang-undang atau kewenangan bawaslu untuk menangani perkara TSM.
Akan tetapi sampai badan tersebut dibentuk, kewenangan mengadili masih tetap dilimpahkan kepada MK sehingga lahirnya Putusan MK No.85/PUU-XX/2022, ditafsirkan UUD 1945 tak lagi melakukan perbedaan pemilu nasional dengan pilkada.“Secara sistematis hal ini berakibat pada perubahan penafsiran atas kewenangan MK yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, sehubungan dengan konstitusionalitas lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada melalui badan peradilan khusus yang dimaksud, kemudian menempatkan kewenangan langsung menjadi kewenangan MK,” terang Agus.
Ia menambahkan, putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 itu, lantas menegaskan peradilan khusus tidak relevan lagi bukan berarti setiap laporan langsung ke MK tanpa ada proses ajudikasi ke bawaslu. “Jika setiap laporan langsung ke MK tanpa ada proses di bawaslu maka saya pastikan laporannya ditolak oleh MK,” ungkapnya.
Agus juga membeberkan setidaknya terdapat dua jenis pelanggaran TSM yaitu, terjadi pelanggaran adminitrasi yang berkaitan dengan keterlibatan aparatur pemerintahan daerah dan pelanggaran mony politik yang dilakukan oleh paslon pemenang pemilu kada. Namun untuk membuktikan kedua hal tersebut sangatlah sulit karena pelanggaran tersebut harus menyebar di 50 % daerah pemilihan. Kemudian sanksinya untuk mendiskualifikasi calon pemenang pemilu kada.
Selain itu pelapor juga dibatasi dengan waktu. Ia mencontohkan ada upaya hasil pleno rekapitulasi rencananya dibawa ke MK maka seluruh datanya harus valit. Kemudian pelanggaran tersebut harus pernah dilaporkan ke bawaslu. Jika tidak pasangan calon Bupati dan Wakil bupati Halmahera selatan yang berkeinginan membawa kasus tersebut ke MK menjadi sia-sia.karena MK hanya mengadili perkara yang sudah diproses secara berjenjang. (Red)
Tinggalkan Balasan