Aktivitas PT ARA dan JAS Diduga Cemari Air Sungai Kali Muria di Halmahera Timur

Hambat Sumber Kehidupan Warga Desa Bumirestu, Mekarsari dan Baturaja
Air sungai yang sudah berubah warna. Foto|Istimewa

HALTIM-pojoklima, Air Sungai Kali Muria dan puluhan hektar lahan sawah di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, diduga tercemar akibat aktivitas pertambangan.

Air sungai yang mengalir melintasi kawasan pertanian warga ini tak lagi jernih, sudah berubah warna keruh kecokelatan seperti lumpur.

Dugaan kuat, pencemaran ini berasal dari aktivitas pertambangan milik PT JAS dan PT ARA yang beroperasi di bagian hulu sungai.

Padahal sungai tersebut menjadi sumber kehidupan warga di tiga desa Kecamatan Wasile yakni, Bumirestu, Mekarsari, dan Baturaja.

Fenomena ini bukan kali pertama. Sepanjang 2025, banjir lumpur dari arah hulu telah berulang kali melanda kawasan tersebut.

Dua kali luapan lumpur bahkan mencapai area persawahan milik warga di Bumirestu, Mekarsari, dan Baturaja, mencemari puluhan hektare lahan produktif. Hasil panen pun gagal.

“Sungai Kali Muria ini sumber kehidupan kami. Dari bendungan di sungai inilah air dialirkan ke irigasi dan dibagi ke beberapa desa,” ujar Ikram Taib, tokoh pemuda Baturaja yang juga mantan aktivis Sentral Organisasi Pelajar Mahasiswa Halmahera Timur.

‎Menurut Ikram, sejak tambang beroperasi, air sungai kerap berubah warna setiap kali hujan turun.

Lumpur dari hulu mengalir deras, menimbun sawah, dan menghancurkan sumber penghidupan petani.

“Sudah dua kali banjir lumpur terjadi. Dampaknya luar biasa ada yang gagal panen, ada pula lahan yang tak bisa digarap lagi,” tuturnya.

Kondisi sungai yang semakin keruh, kata Ikram, menjadi tanda pencemaran berat, sehingga warga tak lagi berani menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kalau dibiarkan, lama-lama petani bisa kehilangan sumber air. Mereka akan kehilangan hak atas tanah dan kehidupan,” katanya.

Warga sebenarnya sudah berulang kali melaporkan kondisi ini kepada pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret untuk menghentikan pencemaran.

“Respons dari pemerintah sangat lemah. Mereka tahu tapi diam. Tidak ada pengawasan serius terhadap aktivitas tambang,” tutur Ikram dengan nada kecewa.

‎Ia mendesak pemerintah daerah agar tidak hanya memberi teguran administratif, tapi juga turun langsung mendampingi warga terdampak.

“PT JAS dan PT ARA harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat. Pemerintah tidak boleh menutup mata,” tegasnya.

Ia juga menyerukan solidaritas generasi muda Halmahera Timur untuk mengambil peran aktif mengawal isu lingkungan di daerahnya.

“Pemuda tidak boleh hanya menonton. Kita harus bersatu mengawasi aktivitas tambang yang merusak ini. Jangan biarkan air kehidupan kita dirampas,” tandas Ikram.

Warga berharap pemerintah daerah tidak menutup mata dan segera mengambil langkah konkret agar pencemaran tidak semakin meluas.

Kepala Desa Bumi Restu mengatakan, selama setahun terakhir telah terjadi empat kali pencemaran, namun tujuh bulan berlalu tanpa ada satu pun penanganan serius dari pihak perusahaan.

‎“Selama satu tahun ini sudah empat kali terjadi. Tujuh bulan tidak ada penanganan, lalu tanggal 26, 27, dan 28 Oktober kemarin tambah lagi sedimen masuk ke lahan masyarakat. Di Bumi Restu saja, ada 15 hektar lahan sawah terdampak,” ungkapnya.

Sementara itu, Tohirin, petani asal Baturaja, menyebut perusahaan telah merampas kesuburan tanah mereka.

Menurutnya, petani kini harus mengeluarkan biaya besar untuk memulihkan unsur hara tanah yang rusak akibat sedimen tambang.

‎“Kami petani ini bukan orang bodoh, kami menonton di TV bahwa pak presiden kita menekankan fokusnya pada program swasembada pangan dan hilirisasi nikel. Kami tidak pernah ganggu perusahaan, tapi mereka yang merusak lahan kami. Sekarang kami harus pakai pupuk lebih banyak agar tanaman bisa tumbuh. Siapa yang tanggung jawab atas semua ini?” tegasnya.

‎Sementara itu, Wakil Ketua II DPRD Haltim, Abdul Latif Mole, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam, terkait pencemaran lingkungan yang dikeluhkan warga.

Hasil investigasi DPRD menemukan bahwa material sedimen dari aktivitas tambang PT ARA dan PT JAS telah mengalir ke sawah warga di Bumi Restu dan Baturaja hingga menyebabkan produktivitas pertanian menurun drastis.

“Kami khawatir sedimen yang masuk ini mengandung logam berat. Kalau situasi ini terus berulang, petani kita tidak hanya rugi sekarang, tapi bisa kehilangan masa depan pertaniannya,” ujar Latif.

‎Dari hasil investigasi lapangan, ditemukan tumpukan endapan sedimen setebal 10 meter di Bendung BBU, yang menjadi jalur utama aliran limbah tambang ke sawah masyarakat.

‎“Penanganan harus dilakukan di hulu, terutama di areal PT ARA. Harus dibuat cek dam besar agar sedimen tidak turun ke sungai Mou-Mou dan ke lahan masyarakat,” tegasnya.

Meski akhirnya kedua perusahaan menyatakan bersedia mengangkut sedimen dan memperbaiki bendung. Namun, DPRD menilai langkah itu terlambat dan belum menyentuh akar persoalan.

“Yang kami sesalkan, pimpinan perusahaan tidak hadir. Padahal, masalah ini sudah berulang dan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Tanggung jawab itu tidak bisa diwakilkan, meskipun perwakilan perusahan yang mengikuti RDP hari ini tentu merupakan utusan perusahan yang kurang lebih bisa mengakomodir hasil RDP ini dan disampaikan kepada pimpinannya” kata Latif.

‎”Selama perusahaan belum mengubah cara mereka mengelola limbah, maka setiap hujan deras akan membawa kembali bencana ke sawah rakyat,” sambungnya mengakhiri.

Hingga berita ini naik tayang, belum ada klarifikasi resmi dari pihak PT JAS maupun PT ARA.