Laboratorium Itu Bernama Maluku Utara

Rosydan Arby.

Rosydan Arby, Mahasiswa PhD The University of Alabama, US.

Hidup di Persimpangan Alam dan Ilmu. Itulah ruang Maluku Utara. Provinsi yang bukan hanya gugusan pulau tropis yang kaya akan sumber daya alam nikel dan rempah. Ia bukan pula seperti Raja Ampat dan Aceh yang lebih diistimewakan ketika gejolak izin tambang meluap dan membuat Pemerintah Nasional langsung turun tangan mengatasi dengan alasan menjaga lingkungan dan lainnya. Tapi nyatanya, itu karena tuntutan publik mayoritas yang bisa berakibat pada citra buruk pemerintah Nasional, maka Pemerintah Nasional langsung mengambil kendali dan memutuskan. Fakta terbalik ketika berkaca dengan kasus pertambangan di Maluku Utara, sehingga masyarakat yang tinggal di lingkar tambang pun menjadi korban keganasan itu.

Maluku utara tidak diperhitungkan!

Maluku Utara merupakan wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan geospasial, menjadikannya kawasan strategis untuk penelitian ilmiah dan pengembangan berkelanjutan. Terletak di Zona Wallacea, wilayah ini menjadi rumah bagi spesies endemik seperti burung bidadari Halmahera (Semioptera wallacii), nuri ternate (Lorius garrulus), serta beragam flora dan fauna unik yang tidak ditemukan di tempat lain. Di wilayah pesisirnya, Maluku Utara juga termasuk dalam Coral Triangle, kawasan laut tropis dengan biodiversitas tertinggi di dunia, dengan terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang masih terjaga.

Secara geospatial, Provinsi ini berdiri di pertemuan tiga lempeng tektonik besar Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia yang menciptakan lanskap geologi yang kompleks dan aktif, termasuk gunung api seperti Dukono, Gamkonora, Gamalama dan Ibu. Kekayaan mineral seperti nikel laterit di Halmahera Timur dan Pulau Obi menunjukkan nilai strategisnya dalam peta ekonomi global, meski sekaligus menimbulkan tantangan ekologis. Potensi besar ini belum sepenuhnya dipetakan dan dimanfaatkan secara ilmiah, sehingga membuka peluang riset geospasial, pemantauan ekologis, serta konservasi berbasis teknologi dan pengetahuan lokal.

Bayangkan jika Maluku Utara memiliki pusat studi geospasial, iklim, dan restorasi ekosistem tropis sebagaimana dimiliki UC Berkeley atau University of Colorado Boulder. Pembangunan yang mengandalkan teknologi dan pengetahuan, bukan semata alat berat.

Sekalipun Maluku Utara tidak diperhitungkan, setidaknya kita tidak boleh kehabisan akal untuk tetap menyuarakan pentingnya keberlanjutan hidup di provinsi yang jumlah penduduknya lima kali lipat lebih kecil dari provinsi yang ada di Jawa.

Lalu apa yang menjadi keunikan dalam pendekatan seperti itu?

Saya menemukan dalam teori-teori modern tentang ekoregionalisme di Amerika Serikat. Robert Bailey, 1976, misalnya, menyusun peta ekoregion berdasarkan kesatuan ekologis, bukan batas administratif. Cara pandang ini memberi makna baru terhadap Maluku Utara; bukan semata salah satu wilayah administratif Indonesia Timur, tetapi satu kesatuan ekologi kompleks yang patut dilihat dan dipelajari sebagai entitas ilmiah.

Di sinilah kita bisa melihat bagaimana bumi bekerja. Jika di Amerika Serikat ada Grand Canyon dan Yellowstone menjadi ladang belajar geologi modern berkat tokoh seperti Clarence Dutton dan Grove Karl Gilbert, maka Halmahera, Ternate dan pulau sekitarnya menawarkan panggung yang tak kalah megah bagi studi geodinamika tropis.

Anomali itu kini terasa.

Namun, di tengah segala potensi ilmiahnya, Maluku Utara justru digerus oleh pertambangan. Tambang-tambang nikel terbuka di Halmahera, Obi, dan daerah lainnya telah merubah wajah alam dengan cepat. Kekayaan ilmiah yang seharusnya dijaga justru terancam oleh ekspansi ekstraktif yang tak terkendali. Jika kita menggunakan lensa Cultural Ecology dari Carl Sauer, 1925 geografer lingkungan asal Amerika yang melihat lanskap sebagai hasil relasi antara manusia dan alam, maka apa yang terjadi di sini adalah bentuk kegagalan kita membaca lanskap. Alam dianggap semata ruang produksi, bukan ruang kehidupan.

Walaupun Maluku Utara tidak diperhitungkan oleh Pemerintah Nasional, sudah saatnya kita mengalihkan cara pandang itu. Maluku Utara seharusnya dilihat sebagai laboratorium peradaban, tempat bertemunya studi geologi, ekologi, dan sosial dalam satu kesatuan.

Sumber daya alam di Maluku Utara ini bukan lumbung yang habis dipanen lalu diabaikan begitu saja, tapi ini adalah ruang belajar yang harus terus hidup. Kita hanya perlu membaca ulang wilayah ini dengan lensa ilmu pengetahuan yang lebih dalam, bukan hanya ekstraksi pertambangan. Apalagi kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan dan lebih fokus pada politik dan kekuasaan. Pada akhirnya, jangan kita gelisah dan marah kalau kita memang tidak diperhitungkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini