Dalam Hening Tinta: Sepucuk Kenangan untuk Andi Baso

Oleh: Askim Kanshu (Sebelumnya, menulis dan menyunting buku dengan nama pena M. Kubais M. Zeen)

“Hidup yang tak pernah diperjuangkan, takkan pernah dimenangkan.”

— Sutan Sjahrir

Ahad, 11 November 2018. Sepulang dari kampus pascasarjana sekitar pukul dua siang, perasaanku entah mengapa langsung tertuju kepada Andi Baso Tancung, yang sedang dirawat di rumah sakit. Ketika istriku mengatakan ada telepon dari Kak Upan—M. Ghufran H. Kordi K, aku segera mengangkatnya.

“Andi Baso meninggal,” ujar Ghufran, suaranya menahan duka mendalam.

Mungkin karena persahabatan kami bertiga—berbeda suku, tapi terasa sedarah—rasa kehilangan itu begitu nyata, begitu dalam, melampaui apa pun yang bisa dijelaskan realitas.

Di atas meja, aku memandangi sebuah buku yang baru diterbitkan penerbit di Yogyakarta: Menggerakkan Jiwa Entrepreneur. Buku yang kutulis ini belum sempat kuhadiahkan padanya. Namanya telah terpahat di halaman ucapan terima kasih.

Seperti hujan yang turun tiba-tiba, kenangan-kenangan kami pun menyerbu: perkenalanku dengannya, segala percakapan, diskusi, tawa, hingga penyesalan lantaran banyak hal yang belum sempat kutuntaskan untuknya.

Andi adalah pejalan di “jalan sunyi”— istilah untuk mereka yang memilih dunia kepenulisan sebagai panggilan hidup. Tulisan sederhana ini untuk menyelami jejaknya.

Menulis sebagai Jalan Hidup

Dari cerita teman-teman seangkatannya, Andi memulai karier menulisnya pada awal 1990-an. Ia menulis bukan karena panggilan idealisme mulia—belum. Seingatku, motivasi awalnya cukup sederhana: ingin dikenal.

Media favoritnya saat itu adalah Pedoman Rakyat di Ujung Pandang—nama Makassar ketika itu. Honornya, Rp 7.500 per artikel—jumlah yang cukup untuk membeli buku, koran, majalah, bensin, atau ongkos angkutan umum pete-pete. Tapi yang lebih penting dari angka itu adalah: tulisannya dibaca orang. Ia diakui.

Sebagai mahasiswa Budiadaya Perairan Fakultas Perikanan di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Andi sangat produktif menulis isu-isu seputar perikanan dan kelautan. Bersama M. Ghufran H. Kordi K.—juniornya dan juga penulis ulung—mereka secara rutin menulis di Pedoman Rakyat. Keduanya masuk dalam jajaran mahasiswa penulis tenar bersama nama-nama seperti Aslan Abidin, Usman M. Sajim, Fahrul Muksin, hingga Muhammad Syarkawi Rauf.

Setelah era reformasi, ketika media baru bermunculan bagai jamur di musim hujan, Andi kian giat menulis: di Fajar, Tribun, Seputar Indonesia, Cakrawala, Amanah, Saudagar, hingga beberapa majalah dan tabloid nasional bidang perikanan.

Tak hanya artikel. Ia juga menulis puluhan buku, banyak di antaranya menjadi rujukan di perguruan tinggi. Bersama istrinya, Andi Ronawatih, ia menulis dan menerbitkan karya bersama. Dalam kondisi sakit pun, Andi tetap menulis dan menyunting buku—mengingatkanku pada naturalis besar Alfred Russel Wallace yang tetap menulis meski diserang malaria akut di tengah hutan tropis.

Menulis untuk Siapa?

Jika awalnya ia menulis demi popularitas, maka pertanyaan selanjutnya: untuk apa ia terus menulis, bahkan ketika sudah dikenal dan tidak membutuhkan materi dari tulisannya?

Jawabannya mungkin dapat ditemukan dalam istilah filsuf fenomenologi Martin Heidegger: keotentikan eksistensi. Menulis adalah bentuk kehadirannya yang paling jujur di dunia ini. Ia tidak ingin dikenal karena jabatan, gelar, atau institusi—melainkan karena gagasan dan karya.

Dan bagi seorang yang sadar akan perannya sebagai hamba sekaligus khalifah Tuhan, menulis bisa menjadi laku spiritual. Menulis bukan hanya tindakan intelektual, melainkan pula ibadah.

Setiap kali tulisannya terbit—baik artikel maupun buku—dan disebar lewat media sosial, apresiasi pun berdatangan. Tapi ia tidak mengejarnya. Ia hanya menjalankan tugas: menyampaikan pengetahuan dan kesadaran yang dipercayakan kepadanya.

Allah SWT berfirman:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS. Al-Baqarah: 30). “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Fatir: 39)

Dalam diri Andi, aku melihat kesadaran itu hadir. Ia menulis bukan karena dunia, tapi ingin menyampaikan kebaikan yang diyakininya. Ia tahu bahwa kelautan negeri ini bisa diselamatkan dengan pengetahuan. Dan ia menyampaikannya dengan gaya sederhana—khas dirinya yang rendah hati dan tak menyulitkan orang lain.

Ikhtiar untuk Abadi

Aku pernah mendengarnya berkata: ia tidak peduli apakah tulisannya dihargai atau diabaikan. Yang penting, ia sudah menyampaikan, dan itu sudah cukup.

Sastrawan Asma Nadia menulis, “Siapa yang tidak menulis, akan terkubur bersama jasadnya.” Maka menulis adalah ikhtiar untuk abadi, bentuk kekhalifaan—jejak kebaikan yang akan terus hidup, bahkan ketika raga telah kembali ke tanah.

Andi, dalam diam dan kesederhanaannya, telah menjadi bukti dari petuah para penulis besar: “Setinggi apa pun kepintaran seseorang, ia akan terkubur sejarah bila tak menulis,” Pramoedya Ananta Toer. “Jika kamu ingin hidup abadi dan dikenang sejarah, menulislah,” Buya Hamka. “Menulis adalah ikhtiar untuk abadi,” Asma Nadia.

Jejak yang Tak Hilang

Di rumah duka, setelah bersama Ghufran melihat wajahnya yang tenang dan damai untuk terakhir kalinya, kami duduk termenung di bawah tenda. Di situ, aku bertemu langsung dengan beberapa penulis yang sebelumnya hanya kukenal lewat karya mereka: Rusdin Tompo, Ahmadin, dan lainnya. Mereka berbicara tentang ide membuat buku kenangan tentang Andi. Salah satu judul yang diusulkan: Lelaki Maritim.

Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, Ghufran bercerita panjang tentang Andi. “Dia cuma punya dua hal: menulis dan kebaikan,” katanya. “Dia tidak hilang, karena sudah menulis jejak hidup.”

Kami bertiga punya tradisi: saling memberi buku yang kami tulis, edit, atau ikut kontribusikan. Kini tinggal kenangan. Tapi aku percaya bahwa jejak itu tak akan hilang. Karena ia sudah menulis, sudah hidup dalam arti yang sebenar-benarnya.

Semoga tulisan-tulisanmu menjadi cahaya dalam perjalanan menuju-Nya.

Semoga setiap huruf menjadi saksi atas hidupmu yang tak sia-sia. Aamiin. (*)