Hegemoni Struktural
Aji Deni
Hegemoni politik struktural menggambarkan bagaimana kekuatan politik tertentu mengendalikan struktur dasar dan kebijakan fundamental suatu masyarakat atau negara. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini sangat relevan di era otonomi daerah. Dampaknya sangat luas, mencakup ketimpangan sosial dan ekonomi, marginalisasi kelompok rentan, pembatasan demokrasi dan penindasan budaya.
Ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi semakin nyata ketika sumber daya dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan sedikit orang atau kelompok. Hal ini menciptakan jurang pemisah yang semakin besar antara yang kaya dan yang miskin. Thomas Piketty (2014) dalam “Capital in the Twenty-First Century” menguraikan bagaimana ketimpangan ekonomi semakin meningkat seiring waktu, dengan konsentrasi kekayaan di tangan sedikit orang atau kelompok yang mengakibatkan kesenjangan yang semakin membesar antara kelas-kelas sosial. Joseph Stiglitz (2012) dalam “The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future” juga menegaskan bahwa ketimpangan ekonomi tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan merusak stabilitas sosial.
Kelompok rentan seperti minoritas etnis, imigran atau penyandang disabilitas seringkali menjadi korban marginalisasi. Mereka kurang memiliki akses terhadap peluang ekonomi dan sosial yang sama. Amartya Sen (2000) dalam “Social Exclusion: Concept, Application, and Scrutiny” menekankan bahwa marginalisasi menghambat pengembangan kemampuan individu, menciptakan siklus kemiskinan yang sulit dipecahkan. Michel Castells (1997) dalam “The Power of Identity” juga menunjukkan bahwa marginalisasi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga terkait dengan identitas dan pertarungan politik atas representasi.
Hegemoni politik juga berimplikasi pada pembatasan demokrasi. Ketika kelompok hegemonik mengontrol proses politik, partisipasi politik yang sebenarnya dari warga negara menjadi terbatas. Robert Dahl (2000) dalam “On Democracy” mengidentifikasi bahwa partisipasi politik yang substansial dari warga negara adalah kunci dari demokrasi yang sehat, dan pembatasan terhadap partisipasi ini dapat mengancam kesehatan demokrasi itu sendiri. Charles Tilly (2007) dalam “Democracy” memperluas pemahaman tentang demokrasi dengan menekankan bahwa demokrasi tidak hanya tentang pemilihan politik, tetapi juga tentang distribusi kekuasaan yang merata di masyarakat.
Penindasan budaya sering kali merupakan hasil dari dominasi budaya tertentu yang menekan keberagaman budaya lain, menghasilkan homogenisasi budaya yang merugikan kebebasan individu atau kelompok dalam mengekspresikan identitas mereka. Edward Said (1978) dalam “Orientalism” mengkritik cara Barat menggambarkan Timur sebagai inferior dan membutuhkan bimbingan yang menjadi dasar justifikasi moral untuk penjajahan dan penindasan budaya. Stuart Hall (1996) dalam “Representation: Cultural Representations and Signifying Practices” menyoroti bagaimana representasi budaya dalam media dan institusi lain dapat memperkuat hierarki budaya yang menguntungkan beberapa kelompok sementara menekan yang lain.
Untuk mengatasi hegemoni politik struktural, beberapa langkah penting perlu diambil. Pertama, pemberdayaan rakyat harus ditingkatkan untuk memungkinkan partisipasi yang lebih besar dalam proses politik dan pengambilan keputusan. John Gaventa (2006) dalam penelitiannya menyajikan analisis kekuasaan yang mengidentifikasi “ruang-ruang perubahan” dimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Gaventa menyoroti pentingnya mengidentifikasi dan memanfaatkan ruang-ruang ini untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam mencapai perubahan yang diinginkan. Andrea Cornwall (2008) membahas konsep partisipasi secara mendalam, mengurai berbagai model, makna dan praktik partisipasi. Cornwall menyoroti kompleksitas partisipasi dan perlunya memahami konteks lokal dalam merancang strategi pemberdayaan yang efektif. Sherry Arnstein (1969) dalam kontribusinya yang klasik menawarkan konsep “tangga partisipasi warga” yang menyajikan hierarki partisipasi dari partisipasi yang terbatas hingga pemberdayaan yang sejati.
Kedua, reformasi struktural diperlukan untuk menciptakan distribusi kekuasaan dan sumber daya yang lebih adil. Daron Acemoglu dan James Robinson (2012) dalam “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” menyoroti peran institusi dalam menentukan kesuksesan atau kegagalan suatu negara. Mereka menekankan bahwa institusi yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sementara institusi yang eksklusif cenderung memelihara ketimpangan dan stagnasi. Pendekatan yang serupa diperkuat oleh Douglass North (1990) dalam “Institutions, Institutional Change, and Economic Performance,” dimana ia meneliti hubungan antara institusi dan kinerja ekonomi. North menekankan pentingnya perubahan institusional dalam memfasilitasi adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi suatu negara.
Dani Rodrik (2004) dalam artikelnya “Institutions Rule: The Primacy of Institutions over Geography and Integration in Economic Development” menyajikan argumen serupa, menggarisbawahi bahwa institusi memainkan peran utama dalam menentukan arah pembangunan ekonomi. Ia menyoroti bahwa keberadaan institusi yang efektif dan inklusif dapat mempercepat pembangunan ekonomi, bahkan di negara-negara dengan geografi yang sulit atau tingkat integrasi yang rendah. Joseph Stiglitz (2006) dalam “Making Globalization Work” membahas bagaimana globalisasi dapat dikelola untuk mempromosikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Salah satu fokusnya adalah pada perlunya reformasi struktural dalam mengatasi ketidaksetaraan dan ketimpangan yang muncul akibat globalisasi. Amartya Sen (1999) dalam “Development as Freedom” menawarkan pandangan yang meluas tentang pembangunan yang tidak hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada pemberdayaan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, reformasi struktural diarahkan pada menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan kebebasan dan kapabilitasnya.
Ketiga, pendidikan kritis harus didorong untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dinamika kekuasaan dan hak-hak mereka. Paulo Freire (1970) dalam “Pedagogy of the Oppressed” menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan individu dari penindasan dengan mempromosikan pemahaman kritis tentang realitas sosial dan politik. Ia menyoroti bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang membangkitkan kesadaran kritis dan memfasilitasi tindakan pembebasan. Henry Giroux (2011) melanjutkan pembahasan Freire dalam “On Critical Pedagogy” dimana ia mengeksplorasi hubungan antara pendidikan, politik dan kekuasaan. Giroux menekankan pentingnya pendidikan yang kritis dalam mengembangkan pemikiran yang mandiri dan kritis, serta dalam membentuk warga negara yang aktif dan terlibat dalam masyarakat demokratis. Bell Hooks (1994) dalam “Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom” membahas pentingnya memecahkan batasan-batasan dalam pendidikan yang seringkali membatasi potensi individu. Ia menggarisbawahi bahwa pendidikan kritis harus memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi dan menantang norma-norma sosial yang ada, sehingga memungkinkan mereka untuk menjadi agen perubahan sosial. Peter McLaren (2003) dalam “Life in Schools: An Introduction to Critical Pedagogy in the Foundations of Education” menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk perubahan sosial. Ia menyoroti perlunya pendidikan yang kritis untuk membantu siswa memahami dan menantang ketidakadilan sosial serta menempatkan mereka dalam posisi untuk berpartisipasi dalam transformasi sosial. Ira Shor (1992) dalam “Empowering Education: Critical Teaching for Social Change” menekankan peran pendidikan dalam memberdayakan individu untuk menciptakan perubahan sosial. Ia memperkenalkan pendekatan pengajaran kritis yang bertujuan untuk memperkuat siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial yang positif.
Terakhir, advokasi dan gerakan sosial harus didukung untuk mengubah struktur yang tidak adil dan mempromosikan keadilan sosial. Sidney Tarrow (2011) dalam “Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics” membahas dinamika gerakan sosial dan politik yang kontroversial, menyoroti peran penting aksi kolektif dalam mengubah tatanan politik. Ia menekankan bahwa gerakan sosial dapat menjadi kekuatan yang mendorong perubahan politik substansial. Keck dan Sikkink (1998) dalam “Activists beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics” mengeksplorasi bagaimana jaringan advokasi global telah menjadi kekuatan penting dalam mempengaruhi agenda politik internasional.
Mereka menyoroti bahwa advokasi lintas batas mampu menghasilkan tekanan politik yang signifikan terhadap negara-negara dan lembaga-lembaga internasional. Della Porta dan Diani (2009) dalam “Social Movements: An Introduction” menyajikan analisis yang komprehensif tentang gerakan sosial, menyoroti berbagai bentuk dan strategi gerakan sosial lebih adil dan demokratis.
Kajian ini sebenarnya menekankan pentingnya mengintegrasikan perspektif multidisipliner, yang mencakup ekonomi, sosiologi, ilmu politik dan studi budaya untuk memahami serta mengatasi hegemoni politik struktural di Indonesia. Pendekatan ini menggabungkan teori ketimpangan ekonomi dari Piketty dan Stiglitz dengan teori marginalisasi dari Sen dan Castells, serta konsep partisipasi politik dari Dahl dan Tilly, untuk memberikan pandangan yang holistik tentang dampak hegemoni politik. Kebaruan konsep terletak pada penerapan gagasan global dalam konteks lokal Indonesia, menggunakan studi kasus dari Aspinall, Fealy, dan Lev untuk mengembangkan strategi pemberdayaan partisipatif di Indonesia berdasarkan konsep Gaventa, Cornwall dan Arnstein. Model pemberdayaan ini mencakup identifikasi ruang partisipasi nyata dan inklusif, serta reformasi struktural yang berfokus pada institusi inklusif sesuai dengan hasil kajian Acemoglu, Robinson, dan North.
Selain itu, pendidikan kritis berdasarkan Freire, Giroux dan hooks diusulkan sebagai alat transformasi sosial yang membangkitkan kesadaran dan aksi kolektif masyarakat. Terakhir, advokasi dan gerakan sosial berbasis jaringan dari Tarrow, Keck, Sikkink, Della Porta dan Diani, menekankan pentingnya jaringan global dalam mendukung perubahan kebijakan yang adil dan inklusif. Integrasi dan adaptasi berbagai perspektif ini dalam konteks Indonesia memberikan kebaruan konsep yang dapat mendorong solusi yang lebih holistik dan efektif dalam mengatasi hegemoni politik struktural.
Tinggalkan Balasan