Gubernur Sherly Berpotensi Terseret Tipikor

Lantaran Pengakuannya Soal Saham Tambang
Grissa Majid.

TERNATE-pojoklima, Pernyataan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, yang menyatakan tidak ada konflik kepentingan dalam kepemilikan sahamnya di sejumlah perusahaan tambang diduga upaya mengaburkan fakta hukum yang sesungguhnya.

Direktur Indonesia Anti-Corruption Network-IACN, Grissa Majid, mengungkapkan, posisi Gubernur Sherly Tjoanda, tidak hanya soal konflik kepentingan, namun juga memenuhi kriteria sebagai Beneficial Owner (Penerima Manfaat) dan berpotensi menjerumuskannya ke dalam jerat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Grissa membeberkan sejumlah fakta di antaranya;

1. Fakta kepemilikan
Berdasarkan data yang disajikan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan database perusahaan, Gubernur Sherly, tercatat memiliki kepemilikan saham signifikan di beberapa perusahaan tambang yang sedang beroperasi di Maluku Utara, dengan nilai kepemilikan saham yang variatif.

Kepemilikan ini meski diklaim sebagai hasil turun waris, secara hukum tidak menghilangkan statusnya sebagai pemilik dan penerima manfaat. Adapun alasan ‘turun waris’ adalah logika yang perlu dikoreksi. Hukum memandang substansi, tidak lantas berhenti hanya pada alasan asal-usul yang panjang lebar. Maka, selama ia masih memegang saham dan memiliki kepentingan ekonomi di perusahaan yang bidang usahanya beririsan dengan kewenangannya. Lantaran itu konflik kepentingan itu nyata ada.

2. Konsep beneficial ownership

Klaim Gubernur Sherly tidak ada konflik kepentingan dapat dibantah dengan menerapkan lensa Beneficial Ownership (BO). Konsep ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.

Peraturan ini mendefinisikan, kata Grissa, BO sebagai individu yang memiliki kendali atas suatu korporasi: memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan definisi tersebut, Gubernur Sherly dapat dikatakan secara gamblang memenuhi kriteria sebagai BO dari jaringan perusahaan tambang tersebut, bahkan kepemilikan sahamnya lebih dominan.

Perlu dicermati mengenai registrasi BO yang seharusnya menjadi alat untuk mencegah persisnya kasus seperti ini. Jika data BO Gubernur Sherly telah tercatat dengan benar di sistem instansi terkait, seharusnya ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan ‘hanya warisan’.

Statusnya sebagai BO menempatkannya pada posisi yang harus bertanggung jawab penuh atas segala aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut.

3. Potensi tindak pidana korupsi dan kerugian Negara

Masalah konflik kepentingan bukan hanya persoalan pelanggaran etik, tetapi telah membuka pintu lebar bagi potensi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Grissa mengungkapkan beberapa indikasi yang menguatkan potensi yakni: Penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU Tipikor). Dari sini posisi gubernur dapat digunakan untuk memengaruhi kebijakan, baik dari sektor perizinan yang melalui kewenangan pemerintah daerah, pengawasan, atau fiskal yang menguntungkan perusahaannya sendiri.

Juga penerimaan Gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor). Keuntungan finansial yang diperoleh dari dividen saham perusahaan yang memanfaatkan kebijakan daerahnya dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.

Kemudian kerugian keuangan Negara. Ini berpotensi menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dari pajak dan royalti yang tidak dibayar, yang dapat menjurus pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Dan, yang paling krusial adalah membuktikan adanya penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau korporasinya. Kepemilikan saham yang terbuka ini adalah bukti permulaan yang sangat kuat untuk membangun konstruksi kasus korupsi. KPK atau kejaksaan harus segera bertindak.

Bahkan, dampak lingkungan dan sosial, menurut Grissa, konflik kepentingan ini tidak hanya soal uang dan kekuasaan, tetapi telah berdampak pada kerusakan nyata. Dua perusahaan yang terafiliasi, PT Indonesia Mas Mulia dan PT Bela Sarana Permai. Dalam laporan JATAM, telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan, seperti pencemaran sungai dan pencaplokan lahan warga.

Lebih parah lagi PT Amazing Tabara dan PT Bela Kencana tercatat pernah dicabut izinnya oleh Kementerian ESDM, sebuah indikasi kuat adanya pelanggaran prosedur dan standar operasi.

“Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan segera melakukan tindakan hukum guna menguji adanya unsur Tipikor atau tidak, dengan fokus pada potensi penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara,”tegasnya.

“Gubernur Sherly Tjoanda untuk mengambil langkah tegas dan bertanggung jawab dengan melepas seluruh kepemilikan sahamnya di semua perusahaan tambang, sebagai bentuk komitmen nyata menghindari konflik kepentingan dan memegang erat integritas,” sambungnya.

Pernyataan Gubernur Maluku Utara bahwa tidak ada konflik kepentingan, jelas grissa, naif dan ahistoris terhadap sejumlah kasus korupsi serupa di Indonesia. Dan, penerapan konsep BO sangat efektif membongkar kedok kepentingan sejati di balik klaim “turunan waris”. (red)