Mengantar Gibran ke Timur

Oleh: Hermanto – Wartawan Senior

Barangkali negeri ini sedang mencoba belajar menyentuh kembali ujung tubuhnya sendiri. Ujung yang jauh. Ujung yang lama dipandang dengan kekhawatiran dan janji-janji yang sering terlambat datang. Papua, dengan segala kerumitannya, kini kembali jadi medan penting dan di sanalah, Gibran Rakabuming Raka akan ditempatkan.

Wakil Presiden termuda dalam sejarah republik itu akan berkantor di sana, menetap bila perlu, untuk mengawal pembangunan dan seperti disebut Presiden mendorong penyelesaian masalah-masalah strategis. Terdengar mulia. Tapi politik tak pernah sekadar hitam dan putih.

Papua adalah tanah dengan sejarah panjang yang rumit. Di sana, puluhan tahun pembangunan telah dilakukan, dan tak sedikit prestasi yang dicatat: jalan trans-Papua yang menghubungkan wilayah-wilayah terisolasi, sekolah dan fasilitas kesehatan yang bertambah, hingga jembatan megah yang menyatukan dua tepian yang dulu terpisah.

Di balik itu semua, tetap ada suara-suara yang mengeluh, “Kami dibangun, tapi belum sepenuhnya didengar.”

Bukan karena aparat. Aparat negara terutama TNI dan Polri telah bekerja keras menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Mereka bertugas di daerah-daerah yang secara geografis berat, dihadapkan pada tantangan tak biasa, dengan semangat dan pengorbanan yang sering tak tampak di media.

Namun pembangunan di Papua memang bukan sekadar soal keamanan. Ia adalah soal perasaan diterima. Soal keadilan. Soal hadirnya negara bukan hanya melalui pos-pos jaga atau papan proyek, tapi lewat kebijakan yang menyentuh martabat.

Dan ke sanalah Gibran dikirim. Di Jakarta, langkah ini dibaca dalam dua wajah. Ada yang melihatnya sebagai simbol komitmen pemerintah untuk benar-benar serius terhadap Papua. Wakil presiden ditugaskan langsung. Tak lagi menunggu laporan. Ia melihat, mencatat, merespons sendiri.

Tapi ada juga yang bertanya, mengapa Gibran? Mengapa Papua?

Di kalangan politisi Senayan, muncul tafsir lain: bahwa Prabowo sedang menata ulang orbit kekuasaan. Gibran, yang datang dari garis politik Jokowi, ditempatkan di Timur agar tak terlalu dekat dengan dapur strategi pusat. Agar belajar, sekaligus agar jauh.

Itu tafsir. Dan seperti semua tafsir politik, ia tak pernah mutlak. Tapi menarik untuk dicatat bahwa penempatan di Papua bukan hal ringan. Ia bukan hadiah. Ia tugas yang keras, berisiko, dan butuh lebih dari sekadar niat baik.

Jika Gibran memang akan tinggal, bukan hanya berkunjung, maka ia akan belajar banyak. Ia akan melihat bagaimana program-program negara dijalankan di tengah kontur alam dan sosial yang tak mudah. Ia akan menemui anak-anak yang berjalan berkilo untuk sampai ke sekolah. Ia akan bicara dengan tokoh adat yang bicara pelan tapi dalam.

Ia juga akan belajar bahwa keamanan adalah fondasi, tapi bukan satu-satunya jawab. Bahwa aparat negara telah hadir di sana dengan segenap loyalitas, namun perlu disertai pendekatan sosial, budaya, dan komunikasi yang lebih akrab. Gibran harus mampu menjadi jembatan antar institusi: pemerintah pusat, tokoh lokal, dan warga sipil.

Papua sendiri, jika mau jujur, tak selalu menyambut dengan tangan terbuka. Di sana ada kelelahan terhadap janji. Ada trauma lama yang belum sembuh. Tapi juga ada harapan bahwa suatu hari, negara tak hanya datang untuk menjaga, tapi juga mendengarkan dan menyertai.

Maka Gibran harus datang dengan kepala terbuka. Tanpa prasangka. Bukan sebagai perwakilan elite, tapi sebagai pelayan negara. Ia tak perlu menjanjikan solusi cepat. Ia cukup hadir. Mendengar. Mencatat. Dan menyampaikan.

Penempatan ini, kalau dijalankan dengan benar, bisa menjadi lembar penting dalam sejarah pemerintahan ke depan. Tapi jika hanya simbolis, ia akan cepat hilang dalam debu panjang konflik dan skeptisisme lama.

Kita tak butuh banyak hal dari pemimpin. Hanya satu: kesediaan untuk hadir dan jujur. Itu saja sudah cukup banyak untuk mengubah arah sebuah sejarah.

Di tanah yang mataharinya menyala dari ufuk timur, Gibran bisa belajar bahwa kekuasaan sejati bukan berasal dari istana, tapi dari kemampuan bertahan dalam kesunyian rakyat yang selama ini jarang dipeluk penuh oleh republik.

Dan bila ia bersedia tinggal, benar-benar tinggal, maka Papua akan menilainya bukan dari siapa ayahnya, tapi dari apa yang ia lakukan di sana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini