Kejujuran yang Tumbuh di Antara Dua Jendela
“Kadang, yang paling jujur dari kita hanya bisa keluar lewat tulisan.”
—Dee Lestari
Pagi itu, dunia perlahan belajar bernapas kembali usai didera badai pandemi. Dari balik jendela, kulihat seorang gadis berjilab melangkah lembut, seolah menari di atas bayang-bayang cahaya menuju rumah kerabatku.
Kemeja putih panjang dan celana hitam sederhana membalut tubuhnya, berpadu dengan sepatu modis. Sinar mentari di ufuk timur memantul malu-malu di wajahnya yang bening tanpa polesan.
Aku sendiri belum memejamkan mata. Semalam bergulat dengan naskah buku himpunan tulisan sambil mereguk tiga cangkir kopi, dan membiarkan lagu Part Time Lover, Wake Me Up, I Love You, Dying Inside, You Are, mengalun tanpa jeda. Namun, kehadirannya laksana udara segar yang menyusup ke jendela kamar: mengusik ruang hati, menepikan letih, meredakan kantuk.
Usai berbincang sebentar di ruang tamu, gadis itu pamit. Aku bergegas ke teras, mengambil dan menaruh sepatunya di dekat kakinya—ingin membantu memakaikannya. Lalu, menyerahkan tas kecilnya yang tergeletak di lantai.
Saat pena dan kertasnya terjatuh, kami sama-sama membungkuk. Dalam jarak sedekat itu, pandangan kami bertemu: pipinya bersemu, senyumnya meneduhkan. Aku justru gugup. Ada sesuatu yang tak terucap namun terasa—seperti bait puisi yang belum selesai. Kerabatku, pejabat yang selalu tenang itu, hanya berdehem pelan.
Awalnya kupikir ia tak ubahnya kebanyakan gadis seusianya—generasi setelah milenial—populer disebut Gen Z, yang tumbuh di bawah rayuan layar gawai dan notifikasi tiada jeda. Namun aku salah. Waktu secara perlahan membuyarkan semua prasangkaku.
Dara berparas aduhai itu, bukan bagian dari yang disebut F. Budi Hardiman sebagai “generasi klik untuk mengada.” Juga tak termasuk dalam “generasi stroberi” frasa Rhenald Kasali, yang bermakna indah di luar, gampang rapuh di dalam.
Sebagai sekretaris pribadi kerabatku, perannya justru melewati batas meja dan agenda. Ia turut menggerakkan literasi, dan beberapa kali aku terlibat di dalamnya. Setiap pertemuan terasa seperti menyambut sahabat lama yang pulang dari rantau.
Di sela aktivitasnya, aku sering mengintipnya membaca e-book, menandai kalimat-kalimat penting seakan sedang menanam taman kecil di pikirannya. “Aku suka kisah cinta getir tapi jujur dalam novel It Ends With Us karya Colleen Hoover,” katanya suatu sore, malu-malu. Aku yang sedang larut dengan kisah cinta Minke dan Annelies dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, hanya tersenyum.
Sesekali ia menulis pengalamannya di Medium berbahasa Inggris. Di lain waktu,
kami berduet menulis beberapa topik gerakan literasi, tentang perempuan yang mengubah pandangan dunia terhadap anak, dan tentang harapan yang tumbuh dari kata.
Setahun berlalu, ia mengejutkanku. Sebuah buku anak bergambar terbit atas namanya. Ceritanya sederhana: seorang paman mengajarkan ponakannya menangkap ikan, bukan dengan jaring besar atau alat canggih. Melainkan, alat tangkap tradisional, disertai doa dan ritual kecil memanggil ikan.
Kisah laksana laut tak bergelombang itu mengandung aroma pesisir, kearifan lokal, hingga semangat STEAM Science, Technology, Engineering, Art, dan Math. Buku ini diterbitkan
Kementerian Pendidikan dalam tiga bahasa, termasuk Inggris sebuah jendela kecil yang sedari dini mengajarkan anak-anak sekolah dasar mencintai laut tanpa melukainya.
Sebelum itu, ia menjadi delegasi Kapal Pemuda Nusantara, Indonesia Youth Exchange Program, dan program pertukaran pemuda Indonesia Australia. Sepulang dari sana, ia mendirikan sebuah komunitas kecil bersama teman-temannya, yang resah melihat sampah berserakan di pesisir. “Sampah di pantai membuat kami resah,” katanya. “Kami ingin laut tetap bersih, tetap hidup.”
Tak heran, mereka tak letih berkeliling pesisir, menanamkan kesadaran pada anak-anak muda bahwa pantai dan laut bukan tempat menampung sisa-sisa kehidupan manusia.
Dari tangan dan hatinya, aku belajar satu hal: merawat bumi di tengah pekatnya ketidakpedulian manusia, tak selalu dengan gerakan besar. Kadang, bisa dimulai dari langkah paling lembut: selembar halaman, sebaris kalimat, dan setitik cinta yang tulus.
Surah Ar-Rum ayat 41 kembali terngiang di telingaku: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia.” Juga bait puisi D. Zawawi Imron: “Lebah yang hinggap di ranting rapuh pun, tak ada waktu untuk merusak.”
Ia juga mengajar bahasa Inggris gratis untuk anak-anak di kampungnya, menjadi barista di kafe kecil, membantu ibunya membuat kue pia. Aku kerap memesan kue itu untuk ibu dan ayahku yang kini telah berpulang.
Sesekali, gadis berzodiak Virgo itu menyulam hidup dengan petualangan: mendaki gunung, traveling, dan menyelam. Ia juga lucu sesuka hati memanggilku, kadang abang, kakanda, atau ketua entah ketua apa. Suatu dini hari ia mengirim pesan: “Tadi aku ulang tahun. Bisakah kakanda memberi ucapan dengan kata-kata yang manis?” “Tentu,” balasku. Tetapi, hingga menjelang fajar, tak ada satu kalimat pun yang terasa cukup untuk gadis blasteran Palembang itu.
Waktu berjalan. Ketika tak lagi menjadi sekretaris, ia menambal luka hatinya dengan belajar demi impiannya kuliah di negeri jauh: berburu beasiswa, menyiapkan TOEFL, hingga menulis esai.
Saat membaca esainya, aku tertegun. Dalam menapaki hidup, kesedihan datang terlalu dini. Ayahnya berpulang saat ia berusia enam tahun. Ia tumbuh dalam dekapan sang ibu yang bekerja sebagai buruh cuci, yang menghidupi mereka dengan segala pilu dan keteguhan.Tapi ia kukuh dengan keyakinannya: pendidikan tinggi adalah jalan terbaik mengubah hidup, merengkuh masa depan.
Bait puisi penyair Kanada, Rupi Kaur, bergema dalam benakku:
“Jika kamu dilahirkan dengan kelemahan untuk jatuh, kamu dilahirkan dengan kekuatan untuk bangkit.”
Perjuangannya tak sia-sia. Ia diterima di program pascasarjana salah satu universitas di Texas, Amerika Serikat, dengan beasiswa penuh dari pemerintah. Dalam telepon, ia menangis sesenggukan, mataku ikut basah. Pribahasa Arab yang kutahu dari Film Negeri 5 Menara dan buku motivasi, terngiang lagi di telingaku: Man jadda wajada siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil.
Di Texas ia tinggal di apartemen, dan dari jendelanya yang menghadap langit, percakapan kami tetap hidup, meski tak sederas dulu. Tak lewat surat panjang, tapi pesan singkat tentang buku, menulis, dan tentang perempuan yang menimba ilmu setinggi langit.
Dalam percakapan itu, aku tahu, betapa ia kukuh memeluk petuah ibunya: “Jangan sampai miskin ilmu dan adab.” Prinsip ini menuntunnya hingga di bawah langit Texas.
Di sela waktu belajar dan membuat tugas, ia membaca kerap di halte sambil menunggu bus.
“Current readingku saat ini Madilog-nya Tan Malaka dan Educated karya Tara Westover,” tulisnya. “Dulu, aku tak terlalu suka membaca, heheh. Tapi di sini, at least satu hari harus membaca karena sangat menyenangkan.”
Aku membaca pesannya berulang, seakan mendengar suara masa depan yang tumbuh dari hati yang tak tinggi. “Aku pernah baca dua buku itu,” balasku. “Educated belum tuntas, seorang teman menawarkan pertukaran dengan novel klasik Jane Austen, Sense and Sensibility, miliknya. Aku tak keberatan.”
Ia juga mengomentari tulisanku: “Menulis, katamu, bukan sekadar mencatat dunia, melainkan menarasikannya dari tempat kita berdiri. Aku ingin melakukan itu juga, menulis tentang perjuangan menempuh pendidikan di negeri jauh, bertahan hidup, dan merawat kenangan agar tak retak.”
Suatu pagi, ia mengirim foto dari lantai tiga apartemennya. “Dapat salam dari balik jendela,” tulisnya. “Waalaikumsalam. Sungguh dengan senang hati, salam balik ya,” balasku, sambil membayangkan pagi saat ia pertama kali melangkah ke rumah kerabatku.
“Iya,” balasnya lagi. “Dan langit di sini bersih sekali, membuatku terpukau.”
Aku tersenyum, karena di bawah langit yang sejernih itu, ada seseorang yang begitu mengagumkan.
Lalu, ia bercerita bukunya tentang kearifan lokal yang diterbitkan Kementerian Pendidikan sebagai karya terbaik. “Beberapa waktu lalu aku ikut pelatihan menulis buku anak. Uutcomesnya akan dipilih lima tulisan terbaik untuk dipublikasikan. Alhamdulillah, aku termasuk salah satunya.”
Aku bersyukur, mendoakan, dan berharap ia tak henti menulis. Dan kami berjanji, suatu hari akan menulis bersama lagi, seperti sebelum ia ke Amerika. Tapi, entah kapan.
Seperti biasa, di ujung percakapan, kami saling mendoakan. “Sehat-sehat yaa, dan terus menulis yaa. Aku suka baca tulisanmu,” tulisnya. “Terma kasih. Selalu sehat juga ya, semoga dilapangkan dalam menimba ilmu hingga tergapai cita-citamu,” balasku.
Dari jendela apartemennya di Texas, ia menulis masa depan. Dari jendela rumah di kota angin berembus semilir, aku menatap langit sambil bergumam dalam hati: barangkali begitulah cara semesta merangkai kisah ini—bukan lewat pengakuan dan genggaman tangan. Tapi, melalui kata-kata yang saling mencari di antara dua jendela, yang terpisah belasan ribu kilometer.
Di sanalah kutipan sastrawan Dee Lestari di awal catatan ini menemukan takdirnya: kejujuran terdalam tak selalu terucap dalam setiap perjumpaan. Kerap, ia tumbuh dalam tulisan yang mengalir diam-diam dari hati: lembut, jujur, dan abadi.**
