Aktivitas Tambang Milik Gubernur Sherly Ditengarai Langkahi Izin PKKPRL
HALTENG-pojoklima, Perusahaan tambang bernama PT Karya Wijaya (KW) milik Gubernur Maluku Utara Sherly Laos, terus disorot. Sorotan terhadap perusahaan milik istri mendiang Beni Laos itu terutama soal perizinan.
Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun Ternate, Dr. Nurhalis Wahidin menegaskan, pembangunan jetty PT Karya Wijaya (KW) di Pulau Gebe, misalnya ditengarai melanggar ketentuan.
Jetty PT KW diduga tidak memiliki dokumen Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) serta pelaksanaan reklamasi terminal khusus (TERSUS) yang tidak sesuai perizinan.
PT KW juga disinyalir beroperasi tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), yang merupakan syarat mutlak dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP).
Nurhalis menyebut kondisi itu bertentangan dengan pasal 14 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2021, yang secara tegas mewajibkan setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus memiliki kesesuaian dengan tata ruang.
Tanpa PKKPR, IUP maupun Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diklaim dimiliki perusahaan tambang nikel menjadi ilegal dan cacat hukum secara formal.
Mirisnya, kegiatan eksplorasi dan produksi PT KW justru terus berlangsung meski bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menetapkan wilayah tersebut bukan sebagai kawasan pertambangan.
Padahal, regulasi mengisyatakan hal itu sebagaimana tertuang dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dan PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Juga izin usaha pertambangan tidak dapat diterbitkan jika belum terdapat RTRW kabupaten/provinsi/nasional yang menetapkan kawasan tersebut sebagai area pertambangan.
“Tanpa itu,m tidak mungkin ada PKKPR dan konsekuensinya semua izin turunan seperti IUP, IPPKH, maupun izin lingkungan tidak dapat diterbitkan secara sah,” bebernya.
Nurhalis kembali menjelaskan, pemanfaatan ruang laut dalam UU No 6 2023 memerlukan KKPRL dari kementerian terkait.
“Bukan cuma pelabuhan saja, tapi juga olah gerak kapal dan jalur pelayaran. Idealnya kalu tidak ada izin berarti tidak bisa beroperasi,” tegasnya.
Lantaran itu ia meminta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, agar setiap penggunaan ruang laut harus ditelaah sesuai dengan dokumen RZWP3K. Selanjutnya, hasil telaah akan direkomendasikan sebagai salah satu dokumen untuk pengusulan KKPRL.
“Masalah sekarang keberadaaan pemerintah daerah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk menertibkan ini,” bebernya.
Ia menambahkan, setiap jetty yang tidak mengantongi dokumen pemanfaatan ruang laut dampaknya pada biota perairan, tergantung konstruksi.
“Kalau konstruksi tiang pancang berdampak pada gangguan ekosistem karena terkonversi atau rusak. Kalu konstruksinya ada reklamasi maka dampak ke biota perairan adalah sedimentasi,” ucapnya.
Ia kembali menegaskan, seharusnya tidak ada izin KKPRL kegiatan belum bisa dilaksanakan.
“Karena mekanisme izin lokasi ruang laut itu langsung dari kementerian, dan izin pelaksanaan kegiatan dari pemerintah provinsi jika penggunaan kurang dari 200 Ha,” ucapnya.
Terpisah, Humas PT Karya Wijaya, Arifin dikonfirmasi via WhatsApp enggan merespon hingga berita ini ditayang.
