Mulut Gubernur Sherly Beraroma Tambang

Ilustrasi.

TERNATE-pojoklima, Dominasi Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos atas kepemilikan saham di sejumlah perusahaan memicu reaksi awak media hingga praktisi lingkungan dan pertambangan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Provinsi Maluku Utara, misalnya, belum lama ini merelease gurita bisnis Sherly Laos dan keluarganya di daratan Halmahera, Provinsi Maluku Utara.

Satu dari sekian banyak perusahaan yang menyeret nama Sherly yakni PT Karya Wijaya. Tercat hingga akhir 2024 mayoritas saham masih dimiliki mantan suami Sherly Benny Laos, dengan porsi 65 persen. Namun, dokumen AHU Kemenkumham terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan: Sherly kini menjadi pemegang saham terbesar dengan 71 persen. Sisanya terbagi rata kepada tiga anaknya, masing-masing sebesar delapan persen. Pergeseran ini menandai fase transisi kepemimpinan bisnis dalam keluarga pascameninggalnya Benny, sekaligus memperlihatkan kendali ekonomi keluarga mulai berpindah ke tangan Sherly.

Selain memperkuat posisinya di Karya Wijaya, Sherly juga tercatat sebagai direktur sekaligus pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, perusahaan induk yang menaungi beragam gurita bisnis keluarga Laos.

Jejak kepemilikan mendiang suaminya masih tercatat di sejumlah entitas di bawah grup ini. Seperti PT Bela Kencana (40 persen saham), PT Bela Sarana Permai (98 persen), dan PT Amazing Tabara (90 persen).

Melalui PT Bela C, yang bergerak di bidang konstruksi, Benny Laos menguasai 30 persen saham. Perusahaan ini menjadi pemegang mayoritas di PT Indonesia Mas Mulia dengan porsi 85 persen. Sedangkan kendali utama PT Bela Co tetap berada di bawah PT Bela Group dengan kepemilikan saham 70 persen. Anggota keluarga deka, termasuk Robert Tjoanda, juga muncul dengan kepemilikan kecil yakni 1 persen, yang menandakan jaringan perusahaan ini terhubung secara erat dalam lingkar keluarga.

Wilayah operasi perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di berbagai kawasan strategis Maluku Utara. Kondisi ini mencerminkan seberapa luas jejaring usaha keluarga Laos-Tjoanda di sektor sumber daya alam. PT Karya Wijaya, misalnya, memiliki dua konsesi nikel di Pulau Gebe (500 hektare, izin terbit 2020) dan di Halmahera, tepatnya di wilayah perbatasan Halmahera Tengah dan Timur (1.145 hektare, izin Januari 2025).

Izin terakhir ini terbit bertepatan dengan momentum politik pilgub, saat Sherly mencalonkan diri menggantikan suaminya yang wafat. Selain nikel, keluarga ini juga aktif di sektor emas dan tembaga melalui PT Indonesia Mas Mulia (4.800 hektare di Halmahera Selatan), serta sektor pasir besi lewat PT Bela Sarana Permai di Pulau Obi yang menguasai area seluas 4.290 hektare.

Sebagian entitas dalam jaringan tersebut memasuki fase penurunan. Dua perusahaan, PT Bela Kencana dan PT Amazing Tabara, dicabut izinnya oleh pemerintah pada 2022 melalui Kementerian ESDM dan ВКРМ. Pencabutan itu merupakan bagian dari kebijakan penertiban izin nonaktif

Namun demikain, dominasi bisnis tambang Sherly Laos tidak kondisi baik-baik saja lantaran menabrak sejumlah regulasi. Jurnalis poskomalut grup menemukan adanya aktivitas ilegal yang dilakukan PT Karya Wijaya (KW) di Pulau Gebe Kabupaten Halmahera Tengah.

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun Ternate, Dr. Nurhalis Wahidin menyebut, pembangunan jetty PT Karya Wijaya (KW) di Pulau Gebe, ditengarai melanggar ketentuan.
Jetty PT KW diduga tidak memiliki dokumen Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) serta pelaksanaan reklamasi terminal khusus (TERSUS) yang tidak sesuai perizinan.

PT KW juga disinyalir beroperasi tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) yang merupakan syarat mutlak dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP).

Nurhalis menyebut kondisi itu bertentangan dengan pasal 14 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2021, yang secara tegas mewajibkan setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus memiliki kesesuaian dengan tata ruang.

Tanpa PKKPR, IUP maupun Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diklaim dimiliki perusahaan tambang nikel menjadi ilegal dan cacat hukum secara formal.

Mirisnya, kegiatan eksplorasi dan produksi PT KW justru terus berlangsung meski bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menetapkan wilayah tersebut bukan sebagai kawasan pertambangan.

Padahal, regulasi mengisyatakan hal itu sebagaimana tertuang dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dan PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Juga izin usaha pertambangan tidak dapat diterbitkan jika belum terdapat RTRW kabupaten/provinsi/nasional yang menetapkan kawasan tersebut sebagai area pertambangan.

“Tanpa itu,m tidak mungkin ada PKKPR dan konsekuensinya semua izin turunan seperti IUP, IPPKH, maupun izin lingkungan tidak dapat diterbitkan secara sah,” bebernya.
Nurhalis kembali menjelaskan, pemanfaatan ruang laut dalam UU No 6 2023 memerlukan KKPRL dari kementerian terkait. “Bukan cuma pelabuhan saja, tapi juga olah gerak kapal dan jalur pelayaran. Idealnya kalu tidak ada izin berarti tidak bisa beroperasi,” tegasnya.

Lantaran itu ia meminta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, agar setiap penggunaan ruang laut harus ditelaah sesuai dengan dokumen RZWP3K. Selanjutnya, hasil telaah akan direkomendasikan sebagai salah satu dokumen untuk pengusulan KKPRL
“Masalah sekarang keberadaaan pemerintah daerah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk menertibkan ini,” bebernya.

Ia menambahkan, setiap jetty yang tidak mengantongi dokumen pemanfaatan ruang laut dampaknya pada biota perairan, tergantung konstruksi.

“Kalau konstruksi tiang pancang berdampak pada gangguan ekosistem karena terkonversi atau rusak. Kalu konstruksinya ada reklamasi maka dampak ke biota perairan adalah sedimentasi,” ucapnya.

Ia kembali menegaskan, seharusnya tidak ada izin KKPRL kegiatan belum bisa dilaksanakan.
“Karena mekanisme izin lokasi ruang laut itu langsung dari kementerian, dan izin pelaksanaan kegiatan dari pemerintah provinsi jika penggunaan kurang dari 200 Ha,” ucapnya.

Hingga berita ini ditayang Humas PT Karya Wijaya, Arifin belum memberikan penjelasan.