BPK Temukan Aktivitas PT Karya Wijaya Tanpa PKKPR-RTRW
HALTENG-pojoklima, Aktivitas pertambangan PT Karya Wijaya (KW) di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, diduga kuat melanggar sejumlah ketentuan hukum.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (LHP-TT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Nomor 13/LHP/05/2024 tanggal 20 Mei 2024, ditemukan indikasi pelanggaran administratif dan teknis oleh perusahaan tersebut.
BPK mencatat PT KW membuka lahan tambang di bawah status Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, namun belum memenuhi persyaratan dasar sebagai berikut:
a. Tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
b. Tidak menempatkan dana jaminan reklamasi dan pascatambang.
c. Tidak mengantongi izin pembangunan jetty.
IUP awal PT KW diterbitkan pada 4 Desember 2020 melalui SK Gubernur Maluku Utara Nomor 502/34/DPMPTSP/XII/2020, dengan luasan konsesi awal seluas 500 hektare dengan masa berlaku selama 20 tahun.
PT Karya Wijaya juga diduga kuat beroperasi tanpa memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), yang merupakan syarat mutlak dalam penerbitan izin usaha pertambangan.
Perusahaan tambang ini dituding melanggar hukum terkait absen dokumen legalitas dan dampak lingkungan yang dirasakan langsung oleh masyarakat Kecamatan Pulau Gebe.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 14 Ayat (1) PP No. 21 tahun 2021, yang secara tegas mewajibkan setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus memiliki kesesuaian dengan tata ruang.
Meski fakta ini terang-benderang, warga menilai pihak perusahaan tetap beroperasi dengan perlindungan diam-diam dari aparat dan pembiaran oleh pemerintah.
Menurut salah satu warga berinisial RI , kegiatan eksplorasi dan produksi oleh perusahaan justru terus berlangsung, meski belum ada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan pertambangan.
“Tanpa PKKPR, Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diklaim dimiliki perusahaan menjadi ilegal dan cacat hukum secara formal,”katanya, Senin (17/11).
Padahal, menurut peraturan yang berlaku seperti: UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
“Izin usaha pertambangan tidak dapat diterbitkan apabila belum terdapat RTRW kabupaten, provinsi maupun nasional yang menetapkan kawasan tersebut sebagai area pertambangan. Tanpa itu, tidak mungkin ada PKKPR dan konsekuensinya, semua izin turunan seperti IUP, IPPKH, maupun izin lingkungan tidak dapat diterbitkan secara sah,”ungkapnya lagi.
Ia juga menjelaskan, lantaran perusahaan tambang yang beroperasi tanpa dokumen PKP2RL dan RTRW dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Lebih memprihatinkan lagi, aktivitas pertambangan sangat dekat dengan permukiman warga dan fasilitas publik. Namun, tidak ada sosialisasi yang diberikan oleh PT Karya Wijaya yang juga milik Gubernur Maluku Utara tetsebut. Bahkan, tidak ada publikasi dokumen lingkungan, dan warga dibiarkan dalam ketidaktahuan atas potensi bahaya dari aktivitas tersebut.
Bahkan, lebih parah dokumen AMDAL atau UKL-UPL tidak pernah dipublikasikan, sehingga masyarakat tidak bisa memantau dampak dan mitigasi.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat menilai yang sedang diuji bukan hanya regulasi, tapi integritas negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
“Apakah hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil?”
“Apakah keselamatan warga lebih rendah dari kepentingan investasi?”
“Apakah surat resmi kementerian bisa dianggap angin lalu oleh perusahaan?”
Warga Kecamatan Pulau Gebe juga mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemerintah segera menghentikan seluruh aktivitas tambang PT Karya Wijaya hingga ada evaluasi menyeluruh dari pimpinan perusahan dan direksinya.
Hingga berita ini ditayang Kepala Tehnik Tambang PT Karya Wijaya belum dapat dikonfirmasi.(red)
